Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Monday, March 26, 2012

Refleksi Diri

“Kau tidak akan pernah bisa menghitung nikmat yang telah Tuhanmu beri kepadamu selama ini.”
 
Itulah makna yang saya dapatkan dari Al-Qur’an dan beberapa hadist yang pernah saya baca. Allah Yang Maha Pemurah juga menekankan kembali pada surat cinta-Nya yang ditujukan pada seluruh ciptaan-Nya, termasuk kepada saya, “Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi kah yang engkau dustakan?”
 
Betapa bodohnya diri ini ketika meminta sesuatu setelah apa yang diminta sebelumnya telah dikabulkan oleh-Nya. Seharusnya saya malu, malu karena banyak meminta namun tak banyak melakukan kebaikan dan sangat jarang melakukan penghambaan yang sempurna terhadap-Nya.
 
Padahal, yang Ia minta adalah apa-apa yang dapat membuat saya menjadi seorang makhluk yang terhormat ketika di alam kekekalan kelak.
 
Diri ini terlalu sibuk terhadap dunia, sampai-sampai sangat jarang saya merenggangkan waktu terhadap urusan akhirat. Menjadi yang terbaik, ingin dipandang baik oleh orang lain, memperbaharui diri terhadap pergaulan fana, serta sifat kufur terhadap nikmat merupakan efek samping dari apa yang saya pikirkan mengenai dunia.
 
 
Dahi ini terkadang malas untuk tersujud rendah dihadapan-Nya, tangan ini terkadang berat untuk menampung air wudhu, kaki ini terkadang lemas untuk menjawab panggilan-Nya, mulut ini sering melukai perasaan manusia lain dengan keangkuhannya, serta mata dan telinga ini masih sering melihat dan mendengar apa yang bukan menjadi amanahnya.
 
Namun, apakah tubuh dan otak ini sadar akan semua itu?
 
Allah itu Maha Baik terhadap kehidupanmu. Ia menganugrahkan orangtua yang sepantasnya kau bahagiakan, Ia mengabulkan segala permintaanmu yang terdahulu, Ia memberikanmu fisik yang sempurna tanpa suatu kekurangan. Terlebih lagi, Ia telah meniupkan ruh dan menciptakan kehidupan untukmu di dunia.
 
Lalu, apa yang membuatmu merasa selalu tidak sempurna dalam segala hal? Tidak ada alasan untuk kau mempertanyakan keadaan yang menurutmu buruk kepada-Nya.
 
Andai saja pada waktu itu, ruh yang Ia tiupkan ke dalam jasadmu tidak jadi Ia tiupkan, atau ketika
dalam perjalanan kembali ke kampus mu malaikat maut-Nya mengikutimu dan mengambil kenikmatan hidupmu yang selama ini kau sia-siakan……apa yang akan kau pertanggungjawabkan dihadapan-Nya kelak? Apakah kau sudah mampu ketika malaikat dalam kubur mengintrogasi mu dengan pertanyaan-pertanyaan “siapakah tuhanmu?” “siapakah pria yang diutus oleh tuhanmu kepadamu?” Apakah kau mampu menjawabnya?
 
Pikirkan itu sejenak, Rifky.
 
Pikirkan.


Sunday, March 4, 2012

Kedokteran, Sebuah Seni yang Dapat Bersaing dengan Malaikat Maut

Kedokteran, baik manusia, gigi, maupun hewan, adalah seni yang menggabungkan segala aspek bidang disiplin ilmu kelompok sains,
seperti:
- fisika terapan yang dapat berupa konsep mekanika, fluida tekanan, termodinamika, kelistrikan, dan lain sebagainya.
- kimia dalam bentuk konsep biokimia, dan
- terutama biologi.
 
Bagi seorang mahasiswa kedokteran memang tak mudah untuk menaklukkan segala ilmu yang berbeda-beda namun saling berkesinambungan itu.
 
Inilah konsekuensi bagi mereka yang memilih jurusan tersebut sebagai profesinya suatu hari nanti. Lelah dan kantuk yang mendera setiap waktu seperti hembusan angin gurun yang mudah datang, namun juga mudah pergi begitu saja.
Bagaimana tidak, belum saja satu ilmu terserap dengan mantap dalam memori otak, tapi sudah dicekoki ilmu-ilmu lain dan begitulah seterusnya hingga mulut ini melafalkan syair yang wajib disenandungkan dan didengar oleh Tuhan, guru, dan orangtua sebagai kunci pertanggungjawaban kehormatan diri terhadap profesi.
 
Dan pada akhirnya, mereka siap untuk “saling berebut” nyawa dengan malaikat maut dan menjadi makhluk Tuhan lainnya yang berpotensi menjadi pesaing handal bagi mereka.
Dan mengapa ilmu ini digolongkan sebagai seni? Karena kedokteran itu adalah ilmu yang bebas namun teratur. Seperti aliran seni rupa kubisme milik sang pelukis hebat, Pablo Piccaso.
^^”
Jadi, apakah yang membuat langkahmu berat untuk tetap berjuang dan belajar menjadi seorang seniman di Kedokteran?

Friday, March 2, 2012

Entahlah…..??

Entahlah, aku bingung dengan keadaanku saat ini.

Aku seperti setan berwujud manusia yang tak tahu arti apa itu rasa bersyukur. Diberikan sesuatu yang melebihi orang lain justru adalah suatu nikmat yang harusnya dibalas dengan rasa syukur. Tapi, kehidupan dan orang-orang disekitar justru seolah-olah sepakat membuat keyakinan akan keikhlasan ini luntur. Di sekelilingku selalu mencoba untuk memaksaku menjadi manusia yang sempurna dan kalau tidak sempurna kau tidak akan mampu diperhitungkan keberadaannya di sekitar mereka.

Selama aku menempuh jenjang pendidikan, selalu saja ada “ritual pemeringkatan” di sebuah kelas. Ketika kita berhasil menjadi yang terbaik di komunitas, riuh gaduh suara sanjungan datang dari segala arah. Ntah itu dari orangtua, pengajar, atau bahkan yang membuat kepala dan jantung ini semakin besar dan cepat degupannya adalah ketika sanjungan tersebut datang dari seorang teman.
Namun ketika berada dibawah, hal sebaliknya lah yang terjadi. Rasa sanjung dengan cepat berubah menjadi “jaga jarak” yang datangnya dari orang-orang yang justru pada waktu kita berada di langit tertinggi memberikan standing applausenya kepada kita.
Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelangga lah yang terjadi saat itu.

Ku kira, pendidikan profesi tidak menuntutku untuk menjadi yang terbaik dan selalu menghasilkan “nilai” sempurna dalam segala hal. Ternyata, hal tersebut saya dapatkan kembali di dunia kampus seperti ini.
Otak ini sudah jenuh.

Rasanya saya ingin menyobek mulut orang-orang yang terus menyatakan bahwa seseorang harus berorientasi pada proses dan jangan hanya berorientasi pada hasilnya saja.
Kenapa? Karena di negara saya dan dunia pendidikan di sekitar saya itu tidak mendukung seperti itu.
Mereka hanya akan melihat orang yang paling bersinar dan secara tak langsung juga menyuruh saya untuk tidak usah bersusah payah memikirkan untuk berada pada tingkat 2, 3, 4, dan seterusnya. Karena hanya orang-orang yang berada pada tingkat 1 lah yang akan dikenang.

Saya jadi bertanya kembali, apakah kesempurnaan itu mutlak dibutuhkan oleh seorang dokter hewan? Apa dokter hewan itu harus selalu sempurna/memuaskan hasilnya dalam berbagai hal?
Lalu apa arti dari kata “menyembuhkan” bagi seorang dokter hewan dan belajar terus menerus sepanjang hayat tak kenal lelah?

Apa seorang dokter hewan yang tidak sempurna “hasilnya” tidak pantas untuk mendapat kesempatan menyembuhkan?

Entahlah…sampai saat ini aku masih mencari jati diriku.