Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Sunday, October 19, 2014

Macet

            Macet. Satu kata yang udah biasa gue, dan mungkin bagi sebagian warga Jakarta dan sekitarnya, denger dan alami sendiri setiap hari. Gue pun punya arti tersediri dari kata macet ini:
M: Makin
A: Asik
C:Ceritanya kalo
E: Elu dan gue
T: Tertib

            Ya memang, menurut gue pribadi. Kemacetan yang ada di sekitar kita itu terjadi gak lebih dari akibat ulah kita sendiri. Coba lu hitung, berapa kali sih lu keluar rumah pakai kendaraan pribadi setiap hari, baik itu motor ataupun mobil? Berapa kali juga kalian saling dempet di gerbong commuterline? Seberapa sering lu duduk di halte buat memberhentikan bus kota? Dan jika lu harus memilih pergi ke suatu tempat di Jakarta, lu akan memilih menggunakan transportasi massal yang panas, saling dorong, dan pengap atau pada akhirnya kembali lagi ke jok empuk mobil pribadi dengan pendingin ruangan yang bisa membuat lu nyaman di dalamnya?

            Kita tahu, Bumi itu makin panas dan gak karuan. Iklim juga mengalami ketidaktepatan. Banyak orang di luar sana yang udah berkampanye go green, bike to work or school or campus, save our Earth, sampai banyak juga yang menggembor-gemborkan mengenai global warming sebagai fenomena mainstream yang mulai muncul 10 tahun belakangan. Mereka mencoba mengingatkan kita semua buat tetap menjaga kesehatan Bumi agar gue, lu, dan hewan di muka Bumi tetap bisa menikmati yang namanya langit biru dan hijaunya pepohonan. Tapi kayaknya kita gak terlalu menggubris dengan serius isu-isu tersebut.

            Keadaan di atas juga berhubungan erat dengan yang namanya macet di Jakarta dan sekitarnya. Polusi yang kita hasilkan tiap hari dengan kendaraan pribadi yang kita tumpangi tanpa disadari justru meningkatkan keberadaan isu-isu lingkungan yang berkembang selama ini. Daerah hijau ibukota pun sudah berubah jadi hutan beton yang menembus langit sehingga gak ada lagi pohon yang mampu menetralkan racun polusi menjadi oksigen berkualitas buat kita. Waktu kita membunyikan klakson karena terlalu jengkel dengan macetnya jalanan ibukota, apa lu lupa sebenarnya lu juga udah mengambil peranan menjadi salah satu bagian dari penyumbang terbesar kemacetan? Lu pernah mikir gak sih? Seandainya mobil pribadi di kiri, kanan, depan, atau belakang lu itu gak ada karena orang-orangnya beralih ke angkutan umum yang memang sudah disediakan oleh pemerintah, pasti jalanan gak mungkin seperti sekarang ini di mana kepadatannya sering membuat pengguna jalan naik darah karenanya.

            Kalau kita mau dan niat, kendaraan umum sebenarnya adalah salah satu jawaban buat kita terbebas dari kemacetan dan mengurangi penumpukan polusi di langit ibukota. Satu kendaraan umum, sebut aja bus kota, sekali jalan mereka bisa mengantarkan lebih dari 40 penumpang sekaligus dalam satu waktu. Sedangkan kendaraan pribadi biasanya cuma diisi gak lebih dari dua orang padahal kapasitasnya bisa sampai lima orang. Menurut gue ketidaktertiban inilah yang membuat jalanan padat. Jika sebuah perusahaan memiliki 800 karyawan yang menggunakan mobil pribadi dan Jakarta punya lebih dari 2000 perusahaan, bisa dihitung secara sederhana ada berapa banyak mobil yang  tiap harinya mengisi ruas jalan ibukota yang kayaknya makin tambah sempit. Belum lagi dengan pegawai institusi pemerintah yang juga jumlahnya pasti lebih dari 1000 orang. Jalan aspal setiap pagi dan petang berubah menjadi sungai asap yang sebenarnya gak disadari oleh kita mengancam kesehatan.

         Sayangnya banyak pengguna kendaraan pribadi enggan buat beralih ke angkutan umum dengan berbagai macam alasan. Karena gak layak beroperasi, panas, sampai keadaan-keadaan lain yang buat penumpang gak nyaman.  Tapi hei, coba kita berpikir kalau dua dari 800 karyawan itu dalam satu hari berubah pikiran buat menggunakan angkutan umum, berarti hanya tinggal 798 karyawan yang ngegunain angkutan pribadi, bukan? Walau hanya berkurang dua kendaraa, tapi coba bayangin kalau setiap satu hari ada dua orang yang akhirnya juga berubah pikiran? Dalam waktu satu tahun lebih satu bulan, 800 kendaraan pribadi mungkin bisa lenyap dari jalanan ibukota dan seenggaknya udah sedikit bisa memperluas jalan. Bayangkan kalau setiap karyawan dari 2000 perusahaan tersebut dan pegawai institusi pemerintah melakukannya secara bersamaan, bukan gak mungkin kita bisa nikmati perjalanan dari Kampung Melayu sampai Pasar Senen hanya dalam waktu lima menit dan tingkat polusi udara pun menjadi dapat terkontrol.

           Tapi memang, gak bisa dipungkiri. Keadaan fisik dan ketertiban berkendara para supir kendaraan umum juga harus ditingkatkan. Karena semuanya sudah beralih ke kendaraan umum, berarti hal itu memaksa para penyelenggara angkutan umum buat meningkatkan kualitas pelayanannya. Buatlah angkutan senyaman mungkin agar masyarakat gak beralih lagi ke kendaraan pribadinya. Membuat kendaraan umum yang layak digunakan inilah juga jadi tugas kita bersama, selain pemerintah dan pemilik angkutan. Rawat layaknya merawat apa-apa yang memang punya kita dan jangan dirusak. Hal ini lah yang gue katakan bahwa sebenarnya akan makin asik ceritanya kalau lu, gue, dan kita tertib menggunakan jalan dan fasilitas umum agar semua hal menjadi aman, nyaman, dan bisa diandalkan.

           Terkadang manusia cuma bisa menyalahkan banyak pihak, tapi gak mau mengangkat “cermin” dan berkata ke dirinya sendiri: “oke, gue juga bersalah dalam hal ini”. Mari belajar menjadi orang yang mengomentari suatu hal dengan dua sudut pandang dan bersikap bijak dalam bertindak agar kita gak mudah menyalahkan sesuatu secara sepihak. Dengan begitu, gue percaya bukan gak mungkin kita bisa bebas dari kata macet ibukota serta bisa menghirup udara bersih yang memang layak masuk ke paru-paru kita asal mau mengusahakannya secara kolosal, berkelanjutan, dan bersama-sama.

Rifky Rizkiantino
Twitter: @Rizkiantino
rifkyrizkiantino.blogspot.com