Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Monday, January 26, 2015

Trip to Thailand Part 9

Senin, 26 Januari 2015
            Gue jadiin hari minggu dan senin ini di satu bagian aja, karena di hari minggu kita bertiga cuma pergi ke Chatuchak Market lagi buat beli beberapa barang yang belum sempat kebeli minggu lalu. Suasana yang masih sama dengan pertama kali kita ke sini dan strategi tawar-menawar antarpedagang dan penjual yang lumrah dilakuin di sebuah pasar. Gak ada yang terlalu istimewa. Mungkin karena ini hari terakhir yang membuat suasana agak datar dan melow. Sisa waktu di hari minggu kita pakai packing barang buat pulang. Hari ini berasa cepat.
            Senin pagi sekitar jam 8, staf dari universitas pun tiba buat nganterin kita ke bandara lagi. Sebuah kondisi yang paling males gue lalui adalah perpisahan. Di sepanjang perjalanan menuju bandara gue diam dan gak berkata apapun. Sulit dan hambar buat nikmatin lagi jalanan kota Bangkok sehingga gue memilih buat diam hingga sampai ke bandara. Sesampainya di bandara, kita bertiga pamit dengan Nil. Sayang sekali Salwa gak bisa ikut mengantar hari itu, begitu juga dengan Yossi. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain kesempatan. Berat banget rasanya harus ninggalin kehidupan di sini. Saat gue mulai beradaptasi dengan makanannya, kebiasaannya, bahasanya, justru gue harus ninggalin negara yang udah banyak memberikan gue momen-momen yang gak bisa dilupain. Tapi yang namanya pertemuan, pasti akan ada perpisahan dan cuma tinggal nunggu aja waktunya tiba.
Sebelum kita pamit ninggalin Nil, gue inget satu barang dari RSH yang lupa lagi gue balikin selain scrub suit kemarin. Gantungan baju dari scrub suit yang gue dan Kenda pinjem ternyata kebawa sampai bandara. Seriusan, itu malu banget. Gue akhirnya meminta maaf ke Nil karena di saat-saat terakhir, masih aja kita nyusain dan malu-maluin. Melihat Nil menenteng gantungan baju di bandara setidaknya membuat gue sedikit tersenyum dan menghibur diri gue yang galau karena harus balik ke Indonesia. The last sentence that I want to speak, “See you, Bangkok. Wish me luck to come back here again”.
Seperti kata Intan, gue gak akan mau bilang good bye dan lebih memilih berkata see you ketika gue pamit dengan seseorang karena makna di dalam kedua kata itu yang berbeda. Kalau good bye, berarti kemungkinan kita gak akan bertemu dengan hal itu lagi, tapi kalau see you itu akan menjadi doa buat kita dan hal yang kita tinggalin biar kembali bertemu lagi di lain kesempatan. Jadi berkatalah see you dan jangan good bye, tak terkecuali buat mantan pacar. Siapa tahu mantan justru jodoh kita *ini apa coba, orang ceritanya lagi sedih*
            Itulah kisah gue dalam menuntut ilmu di negeri gajah putih. Bukan hanya ilmu kedokteran hewan yang bisa gue dapat, tapi ilmu kehidupan juga bisa gue dapat dari kesempatan ini. Kita gak pernah tahu apa rejeki kita dan dengan siapa kita dipertemukan esok hari. Pada akhirnya kita harus siap buat segalanya, termasuk siap melihat keindahan dan kondisi yang selama ini kita impikan. Jangan juga kita berhenti memimpikan sesuatu. Karena semuanya berawal dari mimpi. Keep your dreams and make it real with big effort :-)

Saturday, January 24, 2015

Trip to Bangkok Part 8



Sabtu, 24 Januari 2015
            Weekend is coming. Gue amat sangat beruntung mendapatkan kesempatan buat mengunjungi beberapa tempat di Bangkok dan ditemani oleh teman baru yang sangat baik dan mau membantu. Rencana pertama kami adalah mengunjungi taman margasatwa di Bangkok. Dengan menggunakan bis dan berganti transportasi menggunakan BTS atau skytrain dan turun di stasiun bernama Victory Monument akhirnya kita harus kembali menaiki bis untuk sampai di depan gerbang taman margasatwa tersebut. Sepanjang jalan saat menggunakan BTS gue terkesima dengan pemandangan metropolitan kota Bangkok. Salah satu transportasi andalan masyarakat Bangkok ini sebenarnya sama kayak Commuterline (CL) yang menghubungi daerah Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.  Kalau dibandingkan antara keduanya dalam hal kepraktisan tiket, gue akui CL sangat lebih praktis dibandingkan BTS dan MRT yang ada di Bangkok. BTS masih mngharuskan penggunanya menggunakan koin receh dalam bentuk Bath sesuai tarif stasiun mana yang dituju. Begitu juga halnya dengan MRT. Sedangkan CL cuma pakai e-ticket yang gampang buat dibeli di loket penjualan dan bisa gunain kartu e-money yang udah banyak dikeluarin oleh bank-bank swasta di Indonesia.
            Dari stasiun BTS Victory Monument, perjalanan dilanjutin dengan bis buat sampai ke taman margasatwa Dusit Zoo. Waktu kita berempat sampai, gerbang utama taman margasatwa dengan sebuah jembatan buatan pun menyapa. Sekalian info, tiket masuk ke kebun binatang ini 100 Bath dan saran gue lebih baik datang sama teman lokal dari sana. Karena kalau gak, akan lebih dimahalin harga tiketnya.
Hampir tiga jam lebih kita keliling salah satu dari 6 kebun binatang yang ada di Thailand itu. Ya.....total keseluruhan kebun binatang yang ada di negara gajah putih di seluruh wilayahnya cuma berjumlah 6 buah. Kalau dilihat dari segi isi, mungkin akan sama dengan kebun binatang di Indonesia. Tapi yang menarik di sini adalah burung gagak yang banyak berkeliaran di dalam kebun binatang. Bisa dibayangin kita kayak lagi ada di pemakaman atau di rumah Hagrid di film Harry Potter. Gak serem, tapi justru unik. Apalagi ditambah pemandangan istana di samping kebun binatang yang sekarang ini dijadiin museum. Pemandangan sore hari yang gak gampang buat dilupain.
Seketika gue ingat sesuatu yang mau banget gue tanyakan ke Yossi setelah gue melihat sebuah foto besar yang lagi-lagi gue temui di kebun binatang itu. Gue bertanya ke Yossi siapakah gerangan. Ia pun menjawab, beliau itu adalah raja Thailand yang sekarang ini sedang berada di tahta. Beliau itu adalah Raja Rama IX dan wanita yang fotonya juga sering terpampang di banyak sudut di Thailand itu adalah istrinya. Tapi gue makin penasaran, kalau memang itu pemimpin negara mereka kenapa sampai segitunya. Di negara kita juga suka kok pajang foto presiden dan wakil presiden di kelas-kelas kalau di gedung sekolah atau di perkantoran. Tapi gak sampai dicetak ukuran spanduk kayak lagi pemilu juga. Akhirnya dengan kepo gue bertanya lagi. Yossi pun ngejawab lagi. Kali ini gue rada terharu sih dengarnya. Yossi bilang kalau rakyat Thailand itu sangat sayang dengan rajanya. Katanya Sang Raja sangat baik dan selalu mengayomi rakyatnya dengan bijak. Hal ini bisa dibuktiin dari beberapa tempat bersejarah di dalam kebun binatang yang gue kunjungi ini. Ada sebuah bekas ruang bawah tanah atau bankir yang dulu pas jaman perang dunia dibangun oleh raja Thailand yang berkuasa pada jaman dulu buat rakyatnya bersembunyi dan menyelamatkan diri dari rudal sekutu. Di situ gue melihat sebuah ruang kecil di bankir yang mungkin cukup buat nampung sekitar 50 orang dewasa itu. Yossi juga cerita, kalau dulu waktu jamannya perang Sang Raja memerintahkan rakyatnya buat tinggal di istana tempat tinggalnya yang pasti sangat aman dari serangan perang. Gue terharu saat dengar cerita Yossi dan backsound yang dimainin waktu gue lagi di dalam bankir tersebut. Walau gue gak ngerti naratornya ngomong apa, tapi kayaknya lagi ngomongin yang sedih-sedih dan ditambah suara latar kayak lagi perang gitu.
Bukan hanya pas di jaman dulu aja raja-raja yang berkuasa itu baik sama rakyatnya, tapi juga di jaman sekarang yang udah modern ini. Sang Raja juga masih mengayomi rakyatnya dengan baik dan bijak. Hal ini dibuktikan sama dibuatnya sebuah konsep pasar swalayan modern yang menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari mulai dari beras, buah, sayur, dan lain sebagainya yang dibutuhin sama rakyatnya dengan harga yang murah dan pastinya bersih. Sang raja berpikir, sudah menjadi hak rakyatnya lah buat mendapatkan bahan pangan yang bersih dan layak dikonsumsi. Makanya raja ngebangun konsep swalayan yang bernama Golden Palace itu, di mana swalayan ini dikelola oleh keluarga kerajaan secara langsung. Salah satunya berada di lantai dasar gedung rumah sakit hewan yang jadi tempat gue belajar.
See...bisa dilihat kan? Pantas aja rakyat Thailand sangat sayang banget sama rajanya. Sampai memajang foto rajanya di manapun di negara ini. Rasa nasionalisme dari masyarakatnya pun juga patut diacungi jempol. Katanya tiap sore di jalan-jalan, suka diputar lagu kebangsaan Thailand buat beberapa menit dan saat lagu berkumandang, orang-orang yang lalu lalang pakai kendaraan atau jalan kaki sejenak berhenti sampai lagu itu habis diputar dan melanjutkan aktivitasnya lagi. Tinggi banget rasa nasionalismenya. Sehingga mungkin gak heran kalau Thailand itu bisa menjadi negara satu-satunya di Asia Tenggara yang gak pernah ngerasain dijajah sama bangsa Barat. Itu semua karena rasa cinta tanah airnya yang tinggi mungkin ya. Gue jadi malu sendiri gara-gara hal itu. Semoga gue bisa terapin apa yang gue dapat dari masyarakat Thailand dalam hal berkebangsaan dan bernegara pas gue balik ke alam gue nanti.
            Setelah puas keliling, gue mulai merasa bosan. Gue ngerasa pengen pergi  kayak manusia normal pada umumnya dan berinteraksi dengan manusia lain. Gak mudah buat jadi manusia yang tiap harinya harus berinteraksi dengan hewan. Saking seringnya gue berinteraksi dengan hewan, gue suka kelepasan ngajak ngobrol hewan apapun di sekitar gue. Oke, mungkin gue harus pergi ke psikiater atau semacamnya yang bisa membantu gue menghilangkan stigma kalau hewan itu bisa bicara. Tapi serius, profesi dokter hewan mengharuskan kalian selalu berinteraksi dengan hewan setiap hari bahkan di sepanjang proses pendidikan selama 6 tahun di kampus. Makanya kalau boleh jujur, tiap ada teman lama yang mau reunian atau ngajak jalan di kala musim liburan semester.
Kalau sampai mereka bilang, “ke kebun binatang aja atau ke akuarium aja”.
Serius, gue seakan mau bilang, “Please kemana pun selain itu. Gue mau ke tempat yang banyak manusianya.” Saking terlalu seringnya membuat gue bosen terhadap tempat-tempat semacam itu.
            Akhirnya kita melanjutkan sesi wisata dadakan di hari itu ke tempat lain yang gak kalah “wah” nya. Yossi membawa kita ke tempat yang jadi salah satu ikon wisatanya kota Bangkok. Sebenernya itu kemauan dari Kenda dan Intan. Gue nurut aja. Tapi, justru gue sangat berterima kasih sama hasil googling-an mereka. Sangat berterima kasih. Kita menuju ke Asiatique The Riverfront. Salah satu destinasi wisata yang terkenal dan terletak di tepi sungai besar Chao Phraya yang membelah kota Bangkok serta langsung bermuara ke laut luas.
Buat menuju ke tempat eksotis itu kita harus menggunakan perahu gratis. Inilah yang membuat gue tambah kagum dengan negara ini. Pemerintahnya sangat tahu potensi apa yang dimiliki sama ibukota negaranya ini. Sehingga mereka dengan maksimal membangun semua infrastruktur yang mendukung sektor pariwisata dan hal berpotensi lain yang bisa memikat para pelancong luar negeri untuk mau berkunjung ke negaranya dan yang pernah ke sini akan berpikir kembali buat mengunjunginya untuk yang kedua, ketiga, atau keempat kali, atau bahkan ingin tinggal di kota besar tersebut.
            Perahu yang kita naikin ada di salah satu dermaga yang berada tepat di bawah stasiun BTS Saphan Taksin. Stasiun BTS Saphan Taksin jaraknya sekitar 30 menit dari stasiun BTS Victory Monument tempat kita turun dari bis setelah ke kebun binatang. See...bisa dilihat kan. Sangat memudahkan turis asing buat rela menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menikmati sebuah panorama yang memanjakan mata banget. Saat kita berempat tiba di dermaga kecil itu, antrian buat naik perahu gratis ke Asiatique panjang banget. Kayak orang lagi main ular naga panjangnya. Akhirnya kita harus nunggu beberapa menit buat dapat giliran naik perahu. Tapi justru gue sangat menikmati saat-saat gue menunggu di sebuah dermaga kecil itu. Gue datang di saat yang tepat, di mana sunset kota Bangkok menampakkan cahaya jingga romantisnya di depan mata gue. Sumpah, itu menakjubkan banget. Cahaya matahari terbenam yang ngelukisin siluet kondominium yang berjajar rapi di seberang sungai besar itu dan dihiasi lampu-lampu dari kamar-kamar kondominium yang menandakan kalau sebentar lagi matahari bakal digantiin sama bulan sabit, alias udah mau malam.
Gue baru kali ini merasa tenang dan melepas semua penat dan pikiran gak jelas dalam otak selama ini setelah melihat salah satu lukisan Tuhan Yang Agung itu. Gak cuma sampai di situ aja. Setelah gue sampai di tempat yang kita tuju, gue kembali dibuat takjub padahal gue belum selesai menikmati pemandangan yang jarang gue lihat di Indonesia yang beberapa menit lalu gue lihat. Gue harus terpaksa memalingkan mata ke arah cahaya lampu yang gak kalah indahnya dan membentuk sebuah tulisan “Asiatique” serta sebuah bianglala raksasa dekat dermaga tempat kapal gratis kita berlabuh. Ditambah dengan lampu pagar pembatas dermaga dan tiang-tiang yang berhiaskan bendera kecil dari beberapa negara, termasuk Indonesia, membuat gue gak mengedipkan mata buat beberapa saat.

Sunset di shuttle boat menuju Asiatique

“Sayang kalau gue harus ngelewatin momen-momen langka yang jarang gue dapetin seumur hidup gue seperti sekarang ini”, pikir gue.
Oke, mungkin gue kelihatan norak. But, for you who never see that before, I suggest you to see it by your self. Cahaya lampu yang terpantul di permukaan air sungai dengan background langit senja yang hampir gelap itu sesuatu yang bisa dibilang romantis. Untung gue ke sana bareng teman, kalau gue sendiri akan dipastikan gue bakal nangis bombay karena kerasa banget jomblo nya dan menikmati pemandangan keren itu sendirian. Aktivitas selanjutnya yang bisa ditebak kalau lagi di tempat begitu adalah apalagi kalau bukan mengabadikan gambar.
            Mungkin bagi yang belum pernah mengunjungi Asiatique bisa gue deskripsikan secara singkat. Jadi tempat wisata satu ini dulunya adalah pelabuhan yang berfungsi buat menampung berbagai barang pangan dan barang dagangan lain semasa perang dunia. Ini bisa dilihat dari beberapa patung perunggu yang bisa kalian temui di beberapa sudut di tempat ini. Patung itu kayak memvisualisasikan aktivitas masa lalu yang pernah kejadian di tempat yang dulunya pelabuhan ini. Tempat itu kalau gak salah gue pernah dengar, dibangun atas kerjasama Raja Chulalongkorn, Raja Thailand di masa lalu, dengan pemerintah Denmark buat menghindari adanya penjajahan di negeri Siam (nama terdahulu negara Thailand). Singkat cerita, jadilah bekas pelabuhan ini disulap buat tempat wisata keren di masa kini.
Tempat ini semacam pasar malam yang jual berbagai barang dan makanan. Banyak kafe dan restoran yang berdiri di sini. Ada satu hal yang jadi nilai plus buat tempat ini. Bukan cuma wisata belanja dan lidah, tapi Asiatique juga menawarkan pementasan muai thai dan pertunjukan broadway secara langsung di salah satu gedung pertunjukkan yang masih berada di dalam kawasan Asiatique ini. Pertunjukan broadway yang ada itu diisi oleh para ladyboy yang kalian pasti tahu apa itu. Inilah yang membuat tempat ini selalu masuk ke dalam list tempat wisata para wisatawan.
Selama hampir 3 jam gue di tempat itu dan jalan-jalan diakhiri dengan makan malam di salah satu restoran halal di situ. Selama makan, kita berempat saling ngobrol. Senang rasanya gue dapetin teman baik dari negara lain. Gue sangat beruntung bisa merasakan semuanya. Mulai dari belajar di rumah sakit hewan yang keren, mengenal banyak orang, dan bertemu dengan teman baru, Yossi. Semua gak akan bisa gue dapat kalau gue hanya tetap tinggal dan berdiam diri di kampus tanpa mencari kesempatan yang sebenarnya asal kita mau berusaha sedikit, kita akan mendapatkannya. Gue sadar, selama ini gue terlalu asik terhadap dunia gue sehari-hari. Padahal dunia itu gak selebar daun kelor. Gue harus mengeksplorasi apa yang sudah Tuhan ciptakan buat kita di dunia ini, termasuk melihat keindahan dan keberagaman ciptaan-Nya. Dengan begitu gue akan sadar, kalau gue di dunia ini cuma butiran kerikil kecil banget. Lebih kecil dari upil sehingga gak seharusnya gue sombong dan membanggakan diri. Gue pun sadar setelah bertemu dengan orang-orang hebat di negara ini. Buat menjadi seorang dokter hewan, hendaknya dibutuhin sifat buat selalu mau belajar kapanpun dan gue sadar kalau gue belum ada apa-apanya.
            Dengan terpaksa, kita harus mengakhiri perjalanan wisata dadakan ini. Kembali menggunakan perahu buat sampai ke stasiun BTS Saphan Taksin, kemudian dilanjutkan dengan MRT dan entah gimana itu jadinya tahu-tahu kita keluar di Centra Plaza (salah satu shopping mall terkenal di Bangkok). Mata memang lelah, begitupun juga kaki. Tapi rasanya badan ini gak mau rugi buat nikmatin kondisi sekitar di malam hari di Kota Bangkok yang entah kapan bisa gue nikmati lagi. Semua terlihat lelah, bahkan gue bisa melihat Yossi yang mengantarkan kita seharian ini sangat lelah dan sempat tertidur selama perjalanan di MRT, begitu juga dengan Intan dan Kenda.
Tepat jam setengah sebelas malam kita semua sampai di aparteman, dengan sebelumnya kita mampir sejenak buat melihat flat yang Yossi sewa di dekat rumah sakit. Dia pun masih sempat nganterin kita bertiga sampai depan aparteman, padahal dia keliatan lelah banget. Salah satu hal yang menyentuh banget buat gue pribadi. Seseorang yang baru dikenal belum genap seminggu tapi udah kayak teman lama. Hal di luar bayangan gue saat tiba di sini, bisa mendapatkan kesempatan belajar sekaligus berwisata. Buat selanjutnya, biarkan kasur aparteman yang bercerita sampai hari minggu besok tiba. Hari terakhir kita di kota ini.

Friday, January 23, 2015

Trip to Thailand Part 7



Jumat, 23 Januari 2015
            The last day to internship here. Terlalu sedih kalau harus berpisah dan menyudahi kegiatan kita di rumah sakit yang banyak ngajarin kita tentang banyak hal ini. Walau dalam waktu singkat, tapi serasa udah nyatu. Di hari ini gue bertemu dengan seorang teman yang pernah Intan ceritain ke gue dan Kenda. Sebut saja Yossi. Intan cerita kalau ada mahasiswa yang mau ngajak kita keliling kota Bangkok di akhir pekan ini karena kita semua libur dan gak ada kegiatan. Spontan kita berdua kegirangan. Gimana gak girang, memang seorang teman lokal lah yang kita butuhkan saat di negara orang. Di mana kita gak bisa menggunakan bahasa lokal dan hanya sedikit masyarakatnya yang mengerti bahasa Inggris.
Hal ini terlihat saat kita bertiga mencari makanan halal di 7 eleven dekat aparteman. Memang katanya di sana menjual makanan berlogo halal yang dapat dihangatkan di tempat. Saat gue berbelanja di sana dan mulai membayar, ternyata bahasa memang menjadi alat komunikasi terpenting. Lihat saja, waktu Kenda beli satu buah biskuit coklat yang terkenal dengan slogannya diputer dijilat dicelupin itu, ternyata suatu hal tak terduga terjadi. Si kasir bertanya kepada Sang pembeli menggunakan bahasa Thai. Karena berhubung mereka gak tahu kita ini bukan masyarakat lokal, Si kasir tetap bertanya sambil menunjuk-nunjuk biskuit coklat dan membawa satu biskuit coklat lainnya. Kenda pun malah meng-iya-kan aja perkataan kasir dengan menganggukkan kepalanya. Akhirnya Sang kasir yang mirip aktor laga mandarin itu justru memasukkan 2 bungkus lagi ke kantung belanjaan kita. Sambil menunggu makanan yang kita bertiga beli dipanaskan, gue hanya bisa menahan tawa gue di dalam hati. Takut-takut kalau gue tertawa menggelegar kayak di Indonesia, gue bisa diseret ke luar minimarket itu dan disangka orang gila. Saat jalan pulang pun, akhirnya gue gak bisa menahan tawa gue. Gue pun akhirnya bertanya ke Kenda:
            “Emang tadi ngerti apa yang itu kasir omongin, bang?”
            “Au, aku mah ikut-ikut aja dia ngomong apa. Da aku mah apa atuh. Eh, malah ditambahin 2 lagi.”, jawab Kenda.
            “Hahaha....itu mah mungkin lagi ngasih tahu promo kali. Beli dua gratis satu bungkus. Makanya ditambahin lagi.”, tambah Intan.
            “Wuahahaha....iya kali ya. Gila, ternyata bahasa itu penting. Untung cuma ditambahin, kalau artinya lain? I don’t know what will happen”, sambung gue.
            Karena itulah, mas-mas kasir dan kasir lainnya di minimarket itu sedikit mengenal kita bertiga karena saking seringnya kita beli makanan dingin di situ.
            Lanjut lagi cerita gue di hari terakhir ini. Hari ini berasa gak kerja, kenapa? Karena jam kerja RSH di hari jumat ini cuma sampai jam 12 siang karena setelah itu akan ada simposium besar membahas kasus-kasus yang ada selama seminggu kemarin. Makanya, kita diperbolehkan untuk pulang.
Saat di subunit bedah saraf gue bertemu dengan Yossi, teman yang Intan ceritain dua hari lalu. Sedikit berbincang dan menanyakan rencana pergi Sabtu ini. Hari ini pun hanya mengobservasi 1 kasus bedah jaringan lunak dan 1 kasus bedah saraf. Jam 12 pun gak kerasa tiba begitu cepat. Gue dan Kenda pun harus mengembalikan baju OK pinjeman RSH yang hari Kamis lalu kita dapat, tapi sayang ternyata semua bagian udah tutup, termasuk bagian pengembalian baju OK di lantai 5 rumah sakit.
            Akhirnya gue dan Kenda mengunjungi Intan yang masih kerja di unit hewan eksotik di lantai 3. Kembali lagi ke unit ini semakin membuat gue sedih. Setiap sudut yang mungkin gak akan bisa gue lihat lagi saat gue sudah balik ke Indonesia membuat perasaan gue sedikit melow. Hari terakhir di RSH itu pun kita tutup dengan sesi foto bersama staf di unit tersebut. Semoga gue bisa bertemu dengan mereka semua untuk yang kedua kalinya.
            Setelah semua kegiatan di rumah sakit selesai, kita beranjak ke kantin yang menjual makanan halal di belakang rumah sakit. Ternyata kita ketemu dengan Salwa dan Nil, staf universitas. Gue dan Kenda menanyakan mengenai masjid yang mungkin bisa kita kunjungi buat shalat jumat di minggu ini. Tapi sayangnya, gak ada masjid dekat lingkungan kampus yang bisa kita kunjungi. Sebagai informasi, cukup sulit memang kalau harus mencari tempat ibadah umat muslim di sekitaran Chatuchak, Bangkok. Kalau pun ada, cukup jauh jaraknya dan harus pakai motor sedangkan waktunya udah mulai. Akhirnya kita memutuskan buat makan siang bersama Nil dan Salwa. Sontak gue ingat kalau scrub suit milik RSH yang kemarin kita pinjem belum dibalikin. Gue pun menyerahkan itu ke Nil. Malu memang, tapi mau gimana lagi. Takutnya gue, Kenda, sama Intan diuber-uber sampai Indonesia, gara-gara kelupaan ngembaliin barang punya rumah sakit.
            Hari itu ditutup dengan sesi pengabadian gambar di jalanan depan RSH dan dengan penjual kantin halal yang selalu kita kunjungi tiap makan siang selama ada di RSH. Karena sangat cepat kita pulang, akhirnya kita pun bingung sendiri mau ngapain. Tapi kita memutuskan buat kembali ke aparteman dan beristirahat sejenak. We will not forget all of the experiences which had been gotten from that veterinary hospital 

Thursday, January 22, 2015

Trip to Thailand Part 6



Kamis, 22 Januari 2015
            Hari keempat gue magang di RSH dan gue harus berpindah tempat nongkrong di unit bedah. Gue sampai lupa, apa kabar dengan Intan yang selama 3 hari di unit ini saking senangnya berada di unit gue terdahulu. Ternyata di unit bedah, pekerjaannya lebih banyak. Like usual gak di kampus, gak di RSH di Indonesia, dan gak di sini, semua unit bedah pastinya bakal berdiri selama berjam-jam. Inilah salah satu alasan gue sedikit sulit menerima kerja di bagian bedah. Walaupun kaki udah minta dipijat ke tukang urut, tapi mau gak mau gue harus berakting bahwa gue baik-baik saja dengan mengembangkan senyuman terbaik gue (walaupun ini mubazir karena gue di unit ini selalu pakai masker) dan kasus yang sedang gue observasi sangatlah menarik hati dan gue bersumpah akan berdiri lebih lama lagi bahkan berdiri hingga 7 jam ke depan akan gue jabanin. Oke....gue bukan orang yang bisa kayak gitu T___T
            Unit yang satu ini terkenal dengan kesibukannya dari pagi sampai sore hari. Gak heran makanya kalau Intan gak pernah bisa balik bareng gue dan Kenda tiap sore ke aparteman. Di hari pertama gue berada di sini ada 5 kasus bedah, di mana 4 kasus dari subunit bedah orthopedik dan 1 kasus dari subunit bedah emergency critical care. Itu juga sebenarnya masih banyak kasus yang gak kita ikuti saking banyaknya. Terutama kasus-kasus di subunit bedah jaringan lunak dan bedah saraf. Ya....RSH ini emang memiiki manajemen seperti rumah sakit yang diperuntukkan buat manusia. Di rumah sakit hewan ini juga terbagi menjadi beberapa spesialis. Kardiologi, neurologi, dermatologi, urologi, obsgyn, dan opthalmologi adalah sebagian unit spesialis yang ada di RSH ini dan semua bekerja dengan amat sangat baik. Sangar dah pokoknya.
Saat kita pertama datang di unit ini sebenarnya kita bingung, harus kemana kah kita. Andai gue punya peta yang bisa ngomong seperti yang dimiliki Dora, mungkin dengan spontan gue akan berteriak, “katakan peta katakan peta.” Namun apa daya, Dora hanyalah khayalan belaka dan gue sudah berkhayal hal-hal yang tak sepatutnya sebagainya pria produktif yang sudah berusia 21 tahun. Ternyata ada salah seorang staf dokter bedah yang menghampiri kita berdua dan memperkenalkan diri, beliau adalah seorang dokter wanita yang cantik dan anggun serta terlihat cerdas dari penampilan dan cara bicaranya. Beliau menjelaskan semua hal yang harus kita tahu di unit ini, tentang cara berpakaian yang tidak boleh senonoh, harus sopan, dan tidak boleh menggunakan sepatu berhak tinggi bagi pria. Anda percaya saja dengan perkataan saya? Jangan. Bukan itu yang dokter katakan. Beliau menjelaskan tata cara dari dokter bedah dan mahasiswa koas yang sedang dalam stase bedah. Tentang pakaian yang harus dipakai dan peraturan lain saat pembedahan berlangsung. Tentang sepatu yang tidak boleh sampai masuk melewati garis merah dan tentang dokter kepala rumah sakit dan kepala unit bedah. Semua dijelaskan dengan bahasa Inggris yang fasih dan jelas sehingga membuat gue terpesona.
Ada hal yang cukup berkesan di sini. Ternyata, di mana-mana semua mahasiswa sama aja. Gak di Indonesia gak di negara lain, penyakit lupa adalah penyakit menahun yang gak bisa lepas dari semua mahasiswa. Saat gue dan Kenda bersama dengan dua mahasiswa tingkat akhir yang menjadi asisten operasi saat itu mau melakukan tindakan pembedahan terhadap kucing yang mengalami fraktura pada tulang pahanya. Sama seperti di Indonesia, dokter bedah veteriner sekaligus dosen yang menjadi operator saat itu bertanya kepada dua mahasiswa dengan menggunakan bahasa Thailand pastinya. Dari yang sedikit gue tangkep, Sang dokter bedah menanyakan tentang ada berapa macam kerusakan yang dapat terjadi pada tulang panjang. Mereka diberi waktu hingga Sang dokter selesai mengenakan semua “kostum bedah” dan itu sekitar 6 menit. Dalam waktu 6 menit itu, mereka hanya ingat jumlahnya tapi buat namanya mereka lupa. Satu dari mereka, sebut saja Kick yang sebelumnya sudah memperkenalkan dirinya ke kita berdua, akhirnya bertanya ke kita dengan harapan kita bisa membantu mereka lolos dari ujian dadakan ini. Hal inilah yang juga gue temui waktu ketemu dengan Jade dan teman-temannya di unit hewan eksotik Selasa lalu. Tapi apa daya, gue yang sama-sama memiliki penyakit lupa layaknya mereka pun (bahkan gue lebih kronis sepertinya) gak bisa membantu banyak. Gue hanya bilang ke Kick:
Sorry, we don’t know.
Kasihan gue melihat Kick dan seorang temannya itu. Sepertinya mereka lupa buat belajar karena kasus ini seperti kasus improvisasi, jadi gak direncanakan sebelumnya. Gue jadi termenung memikirkan salah satu perkataan profesor patologi yang ngajar gue di kampus. Beliau selalu berpesan di kelas kalau setiap mahasiswa preklinik kedokteran itu hanya sebatas level cukup tahu, tapi kalau sudah ada di bagian klinik apalagi kalian udah koas atau dokter hewan muda itu harus wajib kudu tahu terlepas dari alasan mereka lupa atau gegar otak.
Astaga. Otak gue yang hanya memiliki kapasitas kurang dari 8 giga dan gak lebih dari sebuah flashdisk ini diharuskan buat menelan semua file-file penyakit dan segala jenis terapi mulai dari dosis obat dan simptom, diagnosa, dan prognosa selama lebih kurang 6 tahun pendidikan di kampus. Mau gak mau, tiap kali gue dapet ilmu baru, pasti gue delete sementara. Dan saat dibutuhkan nanti, gue akan mencarinya di folder Recycle Bin di otak gue. Itu sebabnya, gue akan sangat lama menjawab hal-hal yang udah lama terpendam di memori otak gue. Gue harus mencarinya terlebih dahulu. Gak jarang otak gue mengirim sinyal syntax error karena gak ketemu jawabannya. Tapi itulah mahasiswa, sistem kebut semalam menjadi andalan di kala musim ujian melanda. Maklumkan saja ya para pembaca yang budiman.
Hari itu diakhiri dengan kasus fraktura kucing tadi dan kita mesti bubaran jam 5 sore. Bayangkan aja berdiri dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kaki berasa mati rasa dan ketika sampai di aparteman, daya tarik dari kasur pun semakin meningkat. It’s tired day....