Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Friday, September 2, 2016

Momo



             15 Januari 2013, kata ibuku aku lahir di hari itu bersama tiga saudaraku yang lain. Aku lahir di mesin cuci di rumah pemilik ibuku. Keluarga yang mempunyai ibuku sejak ibuku kecil sangat baik, mereka semua ada lima manusia baik. Tapi walaupun begitu, terkadang uncle dan onty yang memelihara kami suka terlambat memberi kami makan. Tapi kami senang tinggal di sana. Mereka semua baik dan menyayangi kami. Banyak pelukan dan belaian hangat yang aku, ibu, dan tiga saudaraku dapatkan dari keluarga kecil ini.
            Aku kucing kampung yang lucu dan menggemaskan. Rambut di badanku warna motifnya sangat unik. Kata uncle Rifky, salah satu anak keluaga pemilik kami yang sedang bersekolah di sekolah dokter hewan, warna dan motif rambutku seperti macan tutul hitam. Ekorku menyerupai ekor ibuku, panjang sekali. Ekor yang kupunya berbeda dengan ketiga saudaraku yang lain yang memiliki ekor pendek. Ada yang berbeda saat aku sedikit lebih dewasa. Ada hal yang istimewa di tubuhku. Kedua kelopak mata atasku tidak tumbuh dengan baik, jadi aku terlihat berbeda dengan kucing kampung lain. Mataku jadi terlihat sipit. Menurut uncle Rifky yang calon dokter hewan, aku mengidap kelainan baawaan yang dalam istilah kedokteran hewaannya disebut Ektopion. Tapi walaupun hanya aku yang memiliki kekurangan fisik, kami semua lucu dan aku tidak pernah sedih. Namun sayang, setelah empat hari kami lahir, ibu harus kehilangan dua saudaraku. Uncle Rifky cerita, mereka terinfeksi virus yang mengakibatkan sistem imun dua saudaraku itu menjadi lemah. Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang dikatakannya. Ibuku terlihat sedih saat itu. Akhirnya mereka dikubur di dekat rumah tempat tinggal kami.
            Tidak terasa lima bulan sudah umur aku dan Muezza, saudaraku yang tinggal satu-satunya menemaniku. Kami bermain sepanjang hari. Berlari dan bermain di ruang tamu dan di sudut-sudut ruangan. Di waktu siang, aku dan adikku itu sangat senang menyusu di ibu kami. Tempat favorit kami menyusu adalah di bawah meja makan atau kursi teras. Aku dan saudaraku suka menyusu di tempat itu karena lantai tempat kami berbaring dingin. Karena udara tempat kami tinggal, di Kota Bekasi, sangat panas kalau siang hari. Apalagi saat berbaring santai di kursi teras ditemani angin sepoi-sepoi menerpa kami dan membuat sejuk. Terkadang juga membuat rambut ibuku tertiup lucu. Ibu juga sering mengajak kami bermain. Tapi kami akan dimarahi oleh pemilik kami kalau berkeliaran di jalan. Mereka mungkin khawatir jika kami tertabrak mobil atau  hal membahayakan lainnya yang dapat menimpa kami.
            Namun seiring berjalannya waktu dan kami makin tumbuh, ibu kami harus menyebrangi jembatan pelangi karena dipanggil oleh Tuhan. Ibu meninggal mendadak sekali dan tubuhnya ditemukan oleh uncle Rifky di bawah kursi di depan rumah kami. Aku sedih saat ibu harus kembali ke kandang lebih besar di langit dan semua anggota keluarga pemilik kami pun juga terlihat sedih. Padahal aku dan adikku sangat sayang dengan ibu. Ibu maafkan kami karena kami selalu menyusahkan ibu. Kami suka bandel karena sering mengganggu ibu kalau ibu sedang tidur atau sedang makan. Setiap waktu makan pasti ibu selalu mengalah tidak menyentuh makanan yang diberikan onty atau uncle dan menyuruh kami makan terlebih dahulu. Ibu baru makan kalau kami sudah tidak ingin makan dan mulai bermain lagi. Aku sering mengganggu ibu dengan menggigiti ekor ibu dan terkadang ibu merasa sakit dan memarahi aku. Tapi kami sangat sayang sekali dengan ibu. Semoga ibu mendapat ikan yang besar di langit.
            Siang itu aku dan Muezza sedang bermain. Namun, Muezza bermain terlalu jauh dari rumah. Hingga malam pun ternyata Muezza tidak kunjung pulang, aku membantu uncle dan onty ku mencari Muezza. Tapi tidak berhasil. Tiga hari Muezza hilang dan tak kunjung pulang. Terkadang aku menatap uncle dengan tatapan bertanya, “Muezza mana uncle?”. Tapi uncle hanya menjawab, “Mungkin Muezza sudah mendapatkan tempat hidup yang lebih baik lagi”. Setelah kepergian ibu, ternyata Tuhan sangat sayang denganku. Aku harus kehilangan saudara satu-satunya, teman bermain satu-satunya, Muezza. Muezza harus pergi meninggalkan rumah kami karena ada yang tertarik mengadopsinya.
            Aku tumbuh menjadi kucing kampung yang lucu. Hobiku bermain bersama teman-teman di luar rumah. Kalau siang hari terkadang aku bermain, namun kalau cuaca sedang panas aku akan tidur-tiduran di sofa atau di atas lantai. Aku sangat suka ketika uncle mengelus perutku saat aku tidur. Aku merasa nyaman sekali. Tapi kata uncle, aku punya kebiasan jelek. Aku kucing yang tidak sabaran kalau meminta makan. Aku akan mengeong keras sekali dan mendekati onty atau uncle dan berjalan manja di kaki mereka. Cara itu selalu berhasil untuk mendapatkan apa yang aku mau dari uncle atau onty. Sehabis itu, pasti aku diberi makan yang banyak. Setelah kenyang, aku biasanya menjilati bagian kakiku dan merasa kekenyangan. Kalau sudah kenyang, aku paling tidak suka kalau digendong atau dipegang. Aku pasti akan selalu mencoba menghindar saat ingin ditangkap dan berlari ke luar rumah untuk kembali main lagi.
            Aku punya cerita saat aku ditinggal oleh keluargaku. Malam sebelum mereka berangkat, uncle Rifky membuatkan aku dispenser makanan agar nanti saat aku lapar aku tetap bisa makan. Tidak lupa juga ia siapkan satu ember berisi air untuk minumku. Cukup lama sekali aku ditinggal oleh mereka, aku tidak tahu berapa lama. Saat aku ditinggal, esok hari setelah keluarga pemilikku pergi dan membawa banyak barang berisi pakaian dan kue-kue, aku melihat banyak sekali manusia lalu lalang di depan rumahku. Aku bingung, tapi aku senang karena ramai. Saat aku jalan-jalan di hari itu, ada banyak rumah-rumah yang membuang makanan. Tulang ayam, kesukaan teman-temanku di luar sana melimpah ruah. Aku sempat mengobrol dengan seekor teman di dekat rumahku.
“Apa yang sedang terjadi?”, tanyaku.
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Yang jelas setiap tahun pasti ada yang seperti ini. Ada yang pergi membawa banyak tas dan barang-barang selama beberapa hari dan yang tidak pergi pun juga banyak. Pagi harinya, mereka manusia pergi ke tanah lapang dan berkumpul di sana. Mengumandangkan sesuatu di pengeras suara dari malam hingga pagi hari keesokan harinya. Suara mengagetkan disertai kilauan cahaya di langit juga meramaikan di hari itu. Di rumah-rumah, setelah mereka pulang berkumpul akan ada banyak sekali makanan dan saat itu lah kami berkumpul menunggu  tulang ayam kesukaan kami.”, cerita salah seekor teman dekatku di rumah. Aku tidak ikut makan dengan mereka karena uncle dan onty sudah menyiapkan makanan yang banyak sekali di teras rumah.
            Setelah lama menunggu di kursi teras rumah akuhirnya pada malam hari keluarga pemilikku pulang. Aku sangat senang sekali. aku mengeong sangat keras karena aku kangen mereka. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka. Walaupun makanan dan minuman melimpah, tapi tidak ada yang mengelusku. Aku kangen saat onty mencium kepala dan mengelus leherku. Aku senang sekali mereka kembali. Kukira mereka marah dengan kelakuanku yang terkadang nakal, tapi tenyata mereka pulang juga.
            Itulah kisahku, kucing kampung biasa yang pemiliknya memberikan nama Momotaro padaku. Sekarang aku sudah berumur 1 tahun dan badanku makin gemuk. Aku sangat senang tinggal di keluarga ini. Walau aku sudah ditinggal ibu dan saudara-saudaraku tapi aku masih punya onty dan uncle yang sangat sayang padaku. Namun aku terkadang suka kesal dengan uncle Rifky yang senang menarik pipiku dan menciumnya. Aku suka kesakitan karenanya. Walaupun begitu tapi aku sangat sayang padanya. Uncle selalu membersihkan telingaku, menggunting kukuku, dan setiap uncle ada di rumah ia selalu memeriksaku dengan benda yang satu sisinya ditaruh di dadaku dan satunya lagi di telinganya. Uncle juga sering membuka mulutku dan menaruh benda ke bagian tubuhku yang mengeluarkan pup dan berbunyi bip....bip jika sudah terlalu lama. Aku suka tidak bisa diam kalau sedang diperiksa dan dimandikan, tapi uncle selalu bilang ini dilakukan agar aku selalu sehat dan tidak sakit. Kalau aku gatal, uncle selalu memeriksa kulit yang kugaruk dan memberi sesuatu di bagian yang gatal itu. Rasanya dingin tapi nyaman sekali. Aku sayang sekali dengan uncle dan onty pemilikku. Mereka sangat baik sekali. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan dan uang yang melimpah untuk mereka semua agar mereka bisa tetap bermain dan memberikan aku makanan lezat yang aku suka.

JAKARTA



Jakarta, kota metropolitan yang kaya akan seribu warna dan cahaya. Layaknya seribu lampu neon milik gedung-gedung dan kendaraan yang berkelip-kelip menghiasi wajah malamnya setiap hari. Jakarta adalah sebuah kota yang menurutku maju namun belum dapat memajukan semua manusia di dalamnya. Kota yang tidak pernah tidur, yang semua hal dapat ditemukan di sini, termasuk semua karakter manusia yang melambangkan sifat orang Indonesia. Namun sayangnya aku belum dapat menyamakannya dengan New York, Las Vegas, Boston, apalagi Tokyo. Tapi Jakarta punya sesuatu yang sama dengan kota-kota besar itu. Termasuk kehidupan siang dan malamnya yang jika kita dapat merenungi dan mendengar dengan seksama jeritan orang di dalamnya, kita akan menemui letak kesamaannya. Kaum urban, kaum papa, eksekutif muda, tunawisma, dan pedagang asongan adalah contoh kecil tokoh fakta yang berlakon dan ikut menyemaraki hidup di Jakarta ini. Profesi dan orientasi hidup yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun oleh masyarakat general di luar sana juga dapat ditemukan. Dan aku adalah salah satu manusia penghuni kota modern ini dengan topeng yang terus kukenakan dalam menghadapi kerasnya Jakarta. Kota yang sudah memberikan hidup dan yang mungkin juga akan memberikanku mati ketika aku tidak sanggup mengikuti kemampuan Sang ibukota ini berkembang mengikuti zaman.
Aku adalah pegawai pria sederhana yang bekerja dan menjadi budak uang di suatu perusahaan ternama yang bergelut dalam bidang tambang. Ya, mungkin bisa dibilang aku termasuk manusia ibukota yang beruntung, yang bisa menyaksikan sejuknya pagi, sesaknya bernapas di siang hari, serta malam gemerlap milik kota ini. Namun jika dipikir-pikir lagi, aku memang orang yang beruntung. Setelah menyelesaikan kuliahku, aku bisa mendapatkan posisi sebagai manajer di perusahaan itu. Posisi yang bisa membuat keluarga, orangtua, dan orang-orang di sekitarku sekarang ini tersenyum bangga dan berdecak kagum padaku. Orang melihatku sebagai sosok yang sempurna, mapan dan memiliki peluang besar untuk dapat menikmati surga dunia dan bisa mendapatkan segalanya. Apalagi tempatku berpijak dan bermimpi setiap malamnya selama 24 tahun ini bisa memberikanku segala fasilitas kaum borjuis dengan mudahnya.

Pukul 17.20
Senja mulai menampakkan paras anggunnya. Pancaran merah lembayung yang bercampur dengan violet dan hitam di ufuk Barat mulai terlihat dari jendela ruang kerjaku di lantai 12. Matahari pun seakan lelah menyeruakkan sinarnya yang sedari siang sudah ia keluarkan dengan garangnya hingga membuat suhu di luar gedung kembali bersahabat dan membuat orang-orang yang berjalan di luar sana juga kembali berani untuk meninggalkan penatnya rutininas seharian menuju ke peraduan untuk memanjakan diri beristirahat diselimuti gelapnya malam. Akupun menjadi salah satu di antaranya. Bagai burung yang tak sabar untuk pulang kembali ke sarangnya setelah seharian lelah mencari makan, aku mulai bangkit dan membereskan semua berkas yang seharian ini memaksaku untuk mengerjakannya. Ingin rasanya aku cepat untuk sampai ke tempat tidur empukku, namun ternyata waktu berkehendak lain. Hampir 45 menit waktuku tersita hingga aku benar-benar siap berjalan keluar ruanganku dan akan kembali untuk mengucapakan “selamat pagi” sekaligus menyapa mentari pagi keesokan harinya.
Malam itu aku pulang ke rumahku yang letaknya di sebuah sudut kota ini. Seperti biasa, aku memilih menggunakan transportasi massa yang tersedia. Kebanyakan pekerja sepertiku ini memang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuknya bekerja dan membunuh waktu di jalanan padat pada jam-jam pergi dan pulang kantor. Dengan dalih ingin segera sampai dan tidak ingin dibuat penat lagi dengan kondisi jalan yang macet. Namun aku berpikir lain, bagiku transportasi yang kugunakan setiap hari ini dapat mengenalkanku lebih dekat dengan kota ini. Lebih dekat dengan cerita yang terpendam dari Jakarta. Cerita yang tidak akan kita temui kalau kita duduk dan berada di jok mobil empuk berpendingin udara sambil menikmati dengan egois alunan lagu pop terkini yang dimainkan oleh pemutar musik di dalamnya. Aku menyukai kereta dan sepertinya aku jatuh cinta dengan transportasi ini.
Aku mulai menempelkan karcis berlangganan milikku di pintu masuk stasiun dan mulai berlari menuju salah satu gerbong kereta yang mengarah ke stasiun Manggarai. Seperti biasa, gerbong penuh dengan puluhan orang yang tak kukenal. Aku mengutuk diriku sendiri bila terlalu muluk mengharapkan kalau kereta pada jam sibuk seperti ini sepi tak berpenghuni. Tua-muda, pria-wanita, bahkan ibu yang membawa anaknya pun ikut berdesakan dengan “ganas” saat itu karena keinginannya untuk kembali berkumpul dan berbincang hangat menikmati kopi di ruang televisi dengan keluarga mengalahkan keletihan yang mereka rasakan seharian ini. Walau harus memilih berhimpitan satu sama lain ketimbang memilih kereta dengan keberangkatan berikutnya.
Sesaknya kereta membuatku tak bisa berpikir apapun, bahkan kelelahanku membuat diri ini dapat tertidur sejenak walau dalam keadaan berdiri. Aku mulai memejamkan mataku menikmati harumnya bau yang tidak karuan dan pemandangan yang kulihat setiap harinya ini, entah sampai kapan. Tidak ada pegunungan, sawah yang indah, atau pemandangan lain yang bisa memanjakan mata lelah ini. Hanya lautan manusia egois dan ingin menang sendiri dengan berbagai kedok yang dimilikinya.
Tiga puluh menit aku berada di kereta itu dan akhirnya kereta pertama yang kutumpangi pun sampai di stasiun yang kutuju. Bagai ikan Salmon yang berenang mengikuti derasnya arus sungai, dengan mudahnya aku keluar dari gerbong pengap itu. Jam yang menggantung diam di salah satu sudut peron di stasiun Manggarai menunjukkan pukul 18.35. Itu tandanya sudah lebih dari satu jam waktuku terbuang menikmati rutinitasku di jalanan ibukota Jakarta. Aku bergegas menuju jalur yang berlawanan arah dari kedatangan kereta pertamaku untuk kembali menunggu dengan sabar kereta keduaku menuju stasiun Buaran. Aku sudah tidak bisa menahan letihnya kaki ini hingga sejenak tatapanku menjadi kosong memikirkan semua hal dalam kehidupanku. Semua hal yang kupertanyakan sedari dulu. Tentang hidup, tentang kebahagiaan, tentang kebebasan  memilih dalam masyarakat, atau apapun yang membuatku menjadi letih berpura-pura di Jakarta. Tak terasa lamunanku ternyata berhasil mengisi waktu kosongku saat menunggu tadi. Kereta yang aku tunggu 15 menit yang lalu akhirnya menyadarkanku dengan suara gemuruh khasnya. Sekali lagi, aku merasakan kembali apa yang aku rasakan di kereta sebelumnya. Dan aku hanya berharap semoga masih ada bahan lamunanku yang lain yang bisa membunuh waktu membosankanku di gerbong kereta itu hingga aku sampai di stasiun yang kumau. Ah, ingin rasanya aku segera merebahkan punggungku ini.

Pukul 19.20
            Malam sudah semakin menampakkan suasana khasnya. Aku keluar dari stasiun Buaran dan menyegerakan langkahku untuk menaiki angkutan umum menuju hunianku. Namun, ada satu hal yang berhasil menghentikan sejenak langkah kakiku yang tergesa-gesa itu. Tong sampah besar dekat stasiun itu mungkin menjadi saksi bisu terhadap warna ibukota. Malam yang sudah semakin larut, di saat para pekerja kembali ke rumahnya masing-masing untuk berisirahat menikmati sisa waktu yang tersisa di hari itu bersama keluarga, namun masih saja ada yang menjadikan malam sebagai ladangnya mencari rupiah. Wanita tua itu dengan tatapan lesu mencari beberapa botol dan gelas bekas air mineral atau benda apapun yang masih dapat dihargai dengan rupiah. Pemandangan yang menurutku pribadi sungguh ironis, namun biasa bagi Jakarta. Banyak kaum marginal yang terlena dengan mimpi baik tentang kota ini dan akhirnya terjebak dalam sebuah fatamorgana hidup yang ditawarkan. Atau saat kulihat anak-anak kecil yang masih semangat bermain sambil menadahkan gelas bekas minuman ke pengunjung toko waralaba 24 jam di seberang stasiun demi beberapa receh yang terkadang aku sia-siakan keberadaannya di saku celanaku. Aku hanya dapat menjadikan diriku sebagai pengamat, layaknya pakar sosial yang berkomentar tentang mereka, namun tidak mampu berbuat apapun kecuali memberikan beberapa lembar rupiah yang bernilai kecil sisa aku membeli makanan dan minuman ringan di toko waralaba tadi. Ini menjadi cerita unik tersembunyi dari Jakarta yang baru sadar aku baca hari ini.

Pukul 21.05
            Akhirnya aku sampai di kamarku. Kamar pribadi yang lumayan besar untukku sendiri itu membuatku menjadi orang yang paling bersyukur karena aku dapat merasakan hangatnya tidur di bawah selimut bermotif garis hijau-putih itu. Entah kenapa, hari ini aku merasa sedang berdialog dengan Jakarta. Padahal, hari ini tak ada yang unik dari hari-hari sebelumnya. Hari kerja yang selalu aku lalui dengan senang namun tak jarang menggerutu juga. Namun ada yang berbeda dari hari ini. Aku banyak menikmati kehidupan dan cerita yang disuguhkan oleh kotaku ini tanpa kusadari sedari dulu. Cerita tentang keunikan Jakarta dan orang-orangnya yang katanya ramah dan bersahabat namun dapat berubah menjadi egois saat terpacu dengan waktu. Namun itulah Jakarta, dengan kehidupan malamnya yang bisa kita saksikan jika kita mau mencoba lebih peka terhadap keadaan.
Saat kita sedang menonton acara kesukaan di televisi, mungkin di suatu tempat di Jakarta sedang ada orang yang bekerja menggantungkan kehormatan hidupnya demi dapat bertahan dan mengikuti arus normal kehidupan di kota ini. Kami, manusia metropolitan, hidup dengan kedok agar dapat hidup dan diterima oleh kehidupan kota ini yang memang keras dan penuh dengan warna serta cerita. Kekayaan menjadi sebuah modal dalam strata sosial dan cinta yang terkadang tidak mengenal tempat yang sepantasnya. Semua hal itu memang bisa kita temukan di sini, di Jakarta. Dan aku lah satu di antaranya.
Suara nyaring dari ponselku kembali menyadarkan lamunan hasil letihku di kamar itu. Kumulai membuka pesannya dan kulihat ternyata kekasihku, orang yang entah bagaimana aku rela berkorban apapun untuknya padahal ini masih menyisakan tanya buatku dan hidupku di masa depan, yang mengirim pesan singkat itu.

Dari: Radhit (+6281402989xxx)
Sayang, sudah sampai rumah belum? Langsung mandi trus tidur ya. Love you.


***
TAMAT

Cerpen ini diikutsertakan dalam rangka kompetisi IPB Art Contest 2014