Macet. Satu kata yang udah biasa
gue, dan mungkin bagi sebagian warga Jakarta dan sekitarnya, denger dan alami
sendiri setiap hari. Gue pun punya arti tersediri dari kata macet ini:
M: Makin
A: Asik
C:Ceritanya kalo
E: Elu dan gue
T: Tertib
Ya memang, menurut gue pribadi.
Kemacetan yang ada di sekitar kita itu terjadi gak lebih dari akibat ulah kita
sendiri. Coba lu hitung, berapa kali sih lu keluar rumah pakai kendaraan
pribadi setiap hari, baik itu motor ataupun mobil? Berapa kali juga kalian
saling dempet di gerbong commuterline? Seberapa sering lu duduk di halte buat
memberhentikan bus kota? Dan jika lu harus memilih pergi ke suatu tempat di
Jakarta, lu akan memilih menggunakan transportasi massal yang panas, saling
dorong, dan pengap atau pada akhirnya kembali lagi ke jok empuk mobil pribadi
dengan pendingin ruangan yang bisa membuat lu nyaman di dalamnya?
Kita tahu, Bumi itu makin panas dan
gak karuan. Iklim juga mengalami ketidaktepatan. Banyak orang di luar sana yang
udah berkampanye go green, bike to work or school or campus, save our Earth,
sampai banyak juga yang menggembor-gemborkan mengenai global warming sebagai
fenomena mainstream yang mulai muncul 10 tahun belakangan. Mereka mencoba
mengingatkan kita semua buat tetap menjaga kesehatan Bumi agar gue, lu, dan
hewan di muka Bumi tetap bisa menikmati yang namanya langit biru dan hijaunya
pepohonan. Tapi kayaknya kita gak terlalu menggubris dengan serius isu-isu
tersebut.
Keadaan di atas juga berhubungan
erat dengan yang namanya macet di Jakarta dan sekitarnya. Polusi yang kita
hasilkan tiap hari dengan kendaraan pribadi yang kita tumpangi tanpa disadari
justru meningkatkan keberadaan isu-isu lingkungan yang berkembang selama ini.
Daerah hijau ibukota pun sudah berubah jadi hutan beton yang menembus langit
sehingga gak ada lagi pohon yang mampu menetralkan racun polusi menjadi oksigen
berkualitas buat kita. Waktu kita membunyikan klakson karena terlalu jengkel
dengan macetnya jalanan ibukota, apa lu lupa sebenarnya lu juga udah mengambil
peranan menjadi salah satu bagian dari penyumbang terbesar kemacetan? Lu pernah
mikir gak sih? Seandainya mobil pribadi di kiri, kanan, depan, atau belakang lu
itu gak ada karena orang-orangnya beralih ke angkutan umum yang memang sudah
disediakan oleh pemerintah, pasti jalanan gak mungkin seperti sekarang ini di
mana kepadatannya sering membuat pengguna jalan naik darah karenanya.
Kalau kita mau dan niat, kendaraan
umum sebenarnya adalah salah satu jawaban buat kita terbebas dari kemacetan dan
mengurangi penumpukan polusi di langit ibukota. Satu kendaraan umum, sebut aja
bus kota, sekali jalan mereka bisa mengantarkan lebih dari 40 penumpang
sekaligus dalam satu waktu. Sedangkan kendaraan pribadi biasanya cuma diisi gak
lebih dari dua orang padahal kapasitasnya bisa sampai lima orang. Menurut gue
ketidaktertiban inilah yang membuat jalanan padat. Jika sebuah perusahaan
memiliki 800 karyawan yang menggunakan mobil pribadi dan Jakarta punya lebih
dari 2000 perusahaan, bisa dihitung secara sederhana ada berapa banyak mobil
yang tiap harinya mengisi ruas jalan
ibukota yang kayaknya makin tambah sempit. Belum lagi dengan pegawai institusi
pemerintah yang juga jumlahnya pasti lebih dari 1000 orang. Jalan aspal setiap
pagi dan petang berubah menjadi sungai asap yang sebenarnya gak disadari oleh
kita mengancam kesehatan.
Sayangnya banyak pengguna kendaraan
pribadi enggan buat beralih ke angkutan umum dengan berbagai macam alasan.
Karena gak layak beroperasi, panas, sampai keadaan-keadaan lain yang buat
penumpang gak nyaman. Tapi hei, coba
kita berpikir kalau dua dari 800 karyawan itu dalam satu hari berubah pikiran
buat menggunakan angkutan umum, berarti hanya tinggal 798 karyawan yang
ngegunain angkutan pribadi, bukan? Walau hanya berkurang dua kendaraa, tapi
coba bayangin kalau setiap satu hari ada dua orang yang akhirnya juga berubah
pikiran? Dalam waktu satu tahun lebih satu bulan, 800 kendaraan pribadi mungkin
bisa lenyap dari jalanan ibukota dan seenggaknya udah sedikit bisa memperluas
jalan. Bayangkan kalau setiap karyawan dari 2000 perusahaan tersebut dan
pegawai institusi pemerintah melakukannya secara bersamaan, bukan gak mungkin
kita bisa nikmati perjalanan dari Kampung Melayu sampai Pasar Senen hanya dalam
waktu lima menit dan tingkat polusi udara pun menjadi dapat terkontrol.
Tapi memang, gak bisa dipungkiri.
Keadaan fisik dan ketertiban berkendara para supir kendaraan umum juga harus
ditingkatkan. Karena semuanya sudah beralih ke kendaraan umum, berarti hal itu
memaksa para penyelenggara angkutan umum buat meningkatkan kualitas
pelayanannya. Buatlah angkutan senyaman mungkin agar masyarakat gak beralih
lagi ke kendaraan pribadinya. Membuat kendaraan umum yang layak digunakan
inilah juga jadi tugas kita bersama, selain pemerintah dan pemilik angkutan.
Rawat layaknya merawat apa-apa yang memang punya kita dan jangan dirusak. Hal
ini lah yang gue katakan bahwa sebenarnya akan makin asik ceritanya kalau lu,
gue, dan kita tertib menggunakan jalan dan fasilitas umum agar semua hal
menjadi aman, nyaman, dan bisa diandalkan.
Terkadang manusia cuma bisa
menyalahkan banyak pihak, tapi gak mau mengangkat “cermin” dan berkata ke
dirinya sendiri: “oke, gue juga bersalah dalam hal ini”. Mari belajar menjadi
orang yang mengomentari suatu hal dengan dua sudut pandang dan bersikap bijak
dalam bertindak agar kita gak mudah menyalahkan sesuatu secara sepihak. Dengan
begitu, gue percaya bukan gak mungkin kita bisa bebas dari kata macet ibukota
serta bisa menghirup udara bersih yang memang layak masuk ke paru-paru kita
asal mau mengusahakannya secara kolosal, berkelanjutan, dan bersama-sama.
Rifky
Rizkiantino
Twitter:
@Rizkiantino
rifkyrizkiantino.blogspot.com
No comments:
Post a Comment