Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Saturday, November 25, 2017

My second book



Yyeeey......
Finally, buku kedua gue udah rilis lagi. Alhamdulillah buku pertama gue punya adek juga setelah 2 tahun. Biarpun masih dalam ebook version, semoga dalam waktu dekat bisa rilis printed version nya.
Aamiin...

You all can check this out at : http://getscoop.com/urls/item/143262

Monday, October 2, 2017

Konsep Veterinary Disaster Management


(Source: http://c.asstatic.com/images/2705231_635874932911145000-Ver1-1.jpg)

Kalo kita ngomongin bencana, kayak banjir, gunung meletus, tsunami, dsb pasti identik dengan yang namanya pengungsian. Nah, sempet kepikiran nih (dan belajar juga dari bencana Gunung Merapi yang meletus tahun 2010 lalu) mengenai penanggulangan bencana. Kalo ada bencana, para penduduk pasti disuruh mengungsi. Tapi, ga jarang kalo penduduk ga mau mengungsi dengan berbagai alasan. Salah satu alasan terkuat para penduduk ga mau mengungsi adalah ga mau ternaknya ditinggal karena takut dicuri, dll.

Berangkat dari adanya Disaster Management di bidang kedokteran manusia, otak langsung mencuatkan ide bahwa Indonesia kayaknya butuh yang namanya Veterinary Disaster Management (VDM) atau pengelolaan bencana di bidang kesehatan hewan. Kalo Disaster Management di manusia, pasti para sejawat dokter menjadi relawan di posko-posko kesehatan untuk jaga-jaga kalo kalo para pengungsi di pengungsian butuh akses medis. Nah, seperti di manusia. Konsep VDM diharapkan mampu buat menanggulangi bencana dari segi hewan milik penduduk yang juga harus diselamatkan dan dibawa ke posko-posko kesehatan hewan. Nantinya di posko tersebut akan ada sejawat dokter hewan yang juga menjadi relawan saat bencana mulai muncul. Hal tersebut juga bertujuan agar penduduk yang memiliki hewan ternak mau untuk mengungsi karena hewan ternaknya dirasa aman dan tetap dekat sama mereka. Konsep ini sebenernya udah dilakukan oleh sejawat dari FKH UGM waktu Gunung Merapi meletus. Namun, akan lebih baik VDM ini juga menjadi mata ajar elektif di FKH-FKH di Indonesia agar mahasiswa dapat belajar menjadi dokter hewan yang bertugas di wilayah bencana dan tahu apa yang harus dilakukan pada hewan saat terjadi bencana di posko-posko kesehatan hewan.

Mengingat Negara Indonesia berada di pertemuan lempeng benua, terdapat di wilayah cincin api yang punya banyak gunung api aktif, dan memiliki laut yang luas dengan ancaman tsunami yang besar, konsep VDM pasti akan sangat berguna. Dengan bantuan yang dikoordinasi antara dinas yang membawahi bidang kesehatan hewan, PDHI cabang yang wilayahnya terkena dampak bencana, serta FKH yang terdekat dengah wilayah bencana dapat menurunkan relawan untuk melakukan manajemen bencana untuk hewan-hewan milik penduduk. Sehingga semua aman, sehat, tenang, dan senang.

Saturday, May 20, 2017

Sistem Pendidikan di Indonesia


(Source: https://1.bp.blogspot.com/-aCnMBkVeXNY/V_OiSXev6vI/AAAAAAAAA0Y/tuX1EdFBA0kts-lNu2h7dX6TlVUuDxFaACLcB/s1600/logo.jpg)


Pendidikan Indonesia memang masih merangkak untuk bisa dikatakan maju, seperti negara-negara lainnya. Walaupun memang kita tidak bisa mengatakan bahwa pendidikan di negara ini buruk karena mungkin masih ada yang lebih buruk sistemnya dari kita.

Tulisan ini cuma sekedar buah pikiran saya mengenai pendidikan di Indonesia, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, yang pernah saya tempuh. Karena sebenarnya bukan maksud buat mencibir, melainkan hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg yang ada di dalam otak sebagai seorang pelajar dan mungkin sebagai (calon) pengajar.
Dari pendidikan dasar saya bersekolah di sekolah negeri dan hingga jenjang universitas pun juga diberikan kesempatan buat mengenyam di universitas negeri terkemuka di Indonesia. Apa yang saya rasakan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan atmosfer "negeri" banyak hal yang bisa saya dapat. Mungkin sebagian masyarakat Indonesia punya alasan yang lebih kurang sama dengan saya "kenapa memilih masuk sekolah negeri ketimbang sekolah swasta?"

Jawabannya mungkin karena biaya di sekolah negeri relatif lebih terjangkau ketimbang biaya sekolah swasta. Karena hal itu masyarakat, termasuk saya, berbondong-bondong berusaha agar bisa diterima di sekolah negeri yang notabene milik pemerintah sehingga bantuan biaya pemerintah terhadap operasional pendidikan di sekolah negeri dapat diperoleh. Hal inilah yang membuat biaya di sekolah negeri lebih terjangkau.

Selama saya bersekolah, murid di sekolah negeri relatif mendapatkan perhatian yang rata dari gurunya. Walaupun ada beberapa kasus yang mengecualikan, seperti murid yang pandai pasti akan lebih dikenal oleh guru atau murid yang banyak berulah nakal juga pasti akan lebih diperhatikan guru. Tidak jarang, hanya segelintir murid saja yang bisa dekat secara personal dengan seorang guru.

Kompetisi di tiap jenjang pendidikan juga sedikit sekali berbeda. Murid berlomba-lomba untuk jadi peringkat satu di kelas. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang paling hebat dan pastinya bisa menjadi buah pembicaraan orang tua dalam membanggakan anaknya pada tetangga. Mungkin alasan kedua juga menjadi pendorong mengapa universitas negeri menjadi primadona bagi mantan siswa siswi SMA. Selain prestis yang tinggi jika kita diterima di perguruan tinggi negeri, kita juga secara tidak langsung sudah menunjukkan kalau kita bisa mendapatkan apa yang dibanggakan oleh orang banyak. Apalagi bisa diterima di jurusan yang punya tingkat "kehormatan" selangit. Sehingga tak jarang banyak yang mau mempertaruhkan apapun buat bisa diterima, termasuk menggunakan jalan yang justru bisa menurunkan derajat kehormatan itu.

Sistem pembelajaran di Indonesia yang dengan banyaknya bidang studi pun juga menjadi warna tersendiri buat para muridnya. Dari sekolah dasar bahkan hingga SMA, yang walaupun sudah ada 'penjurusannya', masih saja membebani muridnya dengan mata pelajaran pelengkap hingga belasan mata pelajaran yang di akhir pendidikan harus diujikan juga. Dan tak jarang mendidik kita buat "harus" bisa pintar di segala bidang, dengan dalih semua ilmu penting buat dipelajari.

Saya pikir, setelah masuk kuliah, stigma "cerdas di semua belasan mata pelajaran segudang" yang selama 12 tahun saya temui di pendidikan dasar dan menengah, tidak akan ditemui lagi di pendidikan tinggi. Tapi ternyata jangan berharap lebih terhadap sistem. Setiap dosen yang mengajarkan matakuliahnya selalu mengunggulkan bahan ajarnya kepada mahasiswa bahwa, "kalau kalian tidak menguasai ilmu ini, kalian tidak bisa menjadi penyembuh yang sempurna".

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Apalagi jika didukung dengan jurusan bertipe profesi yang langsung berhubungan dengan nyawa seperti yang saya ambil saat ini. Namun sepertinya saya kurang dapat memahami mengenai kata-kata itu. Atau mungkin karena faktor saya nya yang tidak bisa mengikuti alur pendidikan profesi yang outputnya mencetak lulusannya dalam kompetensi umum?

Mungkin ini cuma rasa lelah individu dari seorang mahasiswa yang harus menjadi expert dalam tiap kompetensi profesinya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Dan pasti banyak yang mencibir setelah membaca tulisan ini, "kalau tidak bisa mengikuti sistem ya keluar saja".

Saya hanya berpikir, bagaimana bisa seorang mahasiswa dengan kosong pengalaman dapat dicetak menjadi seorang ahli di 16 bidang hanya dalam kurun waktu 5.5 tahun? Ditambah lagi kemampuan teori lebih dominan terhadap praktik. Ini sudah terjadi sejak kita semua berada di SD, SMP, dan di SMA. Kenapa seorang murid SMA program IPA harus dipaksa memahami sejarah padahal sebenarnya dia punya ketertarikan lain di bidang sosiologi? Namun kalau dia ingin belajar sosiologi, pastinya dia harus mengambil program IPS karena sosiologi itu "kompetensi" nya program IPS. Dengan "sistem paket mata pelajaran" yang membatasi minat itulah yang membuat mahasiswa atau murid menjadi sangat terbatas dan kaku dalam menggali apa yang dia minati untuk dijadikan landasan dan motivasinya mengapa ia belajar sesuatu. Belajar karena senang dengan belajar karena terpaksa pasti akan sangat terlihat pada proses dan hasilnya. Bagai analoginya, "mengapa seorang penari harus mampu melatih indra perasanya kalau sebenarnya gerakan tubuh yang luwes lah yang harusnya ia kuasai dengan penuh semangat oleh seorang calon penari profesional".

Walaupun memang pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi, seperti master dan doktor atau program spesialis, nantinya akan lebih dispesifikasikan. Tapi, kenapa harus menunggu hingga master atau doktor? Apa karena alasan pada usia itu manusia bisa lebih matang sehingga lebih siap untuk menjadi ahli? Kalau iya, lalu kenapa pada saat jenjang pendidikan yang lebih rendah dari master atau doktoral, mahasiswa harus tampil sempurna dalam ujian di tiap bidang padahal kemampuannya pun sebenarnya belum mumpuni untuk menguasai satu bidang saja? Dan terkadang di saat ujian, mahasiswa seperti sedang mengadu ilmu dengan dosennya padahal sudah dipastikan ilmu Sang dosen lebih tinggi levelnya ketimbang mahasiswa yang mendapatkan kesempatan belajar di bidang dosennya itu pun sedikit karena harus berlomba dengan mata kuliah lain yang juga menganggap masing-masing dirinya penting dalam proses pendidikan.

Menurut pendapat saya pribadi, sudah barang tentu pemahaman mahasiswa jauh dari kata sempurna. Tak jarang salah dalam memahami suatu teori. Lalu ketika saat ujian mahasiswa tersebut salah, bagaimana? Apakah ada yang membenarkan letak kesalahannya? Bukankah itu adalah salah satu tugas seorang pengajar buat meluruskan pemahaman mahasiswa nya yang salah (ini di luar faktor mahasiswa itu memang malas belajar)? Tapi yang dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa, nilai jelek atau ujian ulang lah yang pastinya akan diperoleh kalau kita tidak bisa perfect dalam menjawab pertanyaan. Padahal dosen tidak mengetahui bagaimana usaha maksimal dari mahasiswa itu untuk lulus dari kelasnya sesaat sebelum ujian dimulai.

Hal-hal semacam itu lah yang menurut saya mengapa pendidikan dan kualitas lulusan pada setiap bidang ilmu di Indonesia masih harus dievaluasi. Masih sedikit juga lulusan yang belum mencintai apa yang ia pelajari. Tanggung jawab seorang pengajar terhadap yang diajar memanglah berat. Proses belajar mengajar adalah proses transfer ilmu yang mana jika tidak benar, maka ilmu yang ditransfer tidak akan bisa terserap dengan sempurna. Tapi tanggung jawab itulah yang nantinya akan berperan dan memutuskan secara tidak langsung bagaimana seorang "pelurus" bukan "penerus" dicetak agar ilmu yang sudah ada dan berkembang di Indonesia tidak hilang dan dapat diteruskan ke generasi selanjutnya.

Saya jadi ingat kalimat dari tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, yang berhubungan dengan bagaimana seorang pengajar harusnya bersikap terhadap orang yang diajarnya, dimana filsafat itu saya rasa saat ini sudah mulai dilupakan oleh para pengajar. Kalimat itu berbunyi:

Ing Ngarso Sung Tulodo: Di depan memberi teladan

Ing Madyo Mbangun Karso: Di tengah memberi semangat

Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dorongan.

Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sung TulodoIng Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani memiliki arti: figur pengajar yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang yang ia didik dapat merasakan situasi yang baik, semangat, dan bersahabat. Sehingga makna "mendidik" dan "mengajar" benar-benar dapat tersampaikan dengan baik. Dengan begitu, harapannya dunia pendidikan di Indonesia mampu mencetak para ahli yang bukan hanya pintar, tapi senang, kreatif, dan tertarik dengan bidang pekerjaannya kelak untuk memanfaatkan potensi besar bangsa ini.

Semoga nanti, jika saya punya kesempatan menggapai cita-cita saya menjadi seorang pengajar, saya akan berusaha untuk tetap teguh terhadap filosofi "guru" yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Monday, February 20, 2017

Curahan hati tengah malem :D

"Cuman waktu yang bisa jawab semua kondisi kita di masa yang akan datang"

Ya, mungkin itu yang bisa gue tulis.
Ga tau kenapa malem ini gue ngerasa kesepian gitu. Jadi melo :(
Ditambah denger playlist "Pretend -Secondhand Serenade"
Paaaaaass...banget suasananya.
Gue keingetan sama sesuatu gegara sahabat gue banyak upload kenangan kekinian sama temen-temen nya belakangan ini. Mungkin kedengeran childish sih, tapi sepertinya gue merasa cemburu ya. Haha....
Tapi, kalo gue boleh jujur mungkin itu yang ngebuat gue merasa sedikit kesepian belakangan ini. Memikirkan sendiri tentang semuanya:

  1. Apa gue bisa lulus koas tepat waktu di bulan Mei 2017 ini ya?
  2. Apa gue bakal selesaiin semuanya?
  3. Apa gue akan dapet panggilan interview kerja kedua gue di lembaga konservasi satwa akuatik yang gue pengenin itu ya?
  4. Apa gue beneran bisa kerja di mall Podomoro City itu?
  5. Apa gue beneran bisa lanjut S2 di luar negeri pake LPDP?
  6. Tapi kan butuh tes TOEFL, dari mana gue bisa dapet uang buat tes TOEFL?
  7. Siapa ya yang bakal dengan senang hati ngasih gue surat rekomendasi? Apa profesor di kampus sudi kasih rekomendasi buat gue?
  8. Gimana caranya ngelunasin SPP koas sebesar itu ya?
  9. Atau, apa gue bisa kerja dulu buat bayar SPP koas?
  10. Kalo gue bolak-balik kampus saat ini, apa nyokap ga keberatan sama ongkos buat gue?
  11. Gue pengen cepet kerja, tapi gue juga mau kuliah lagi 😭
  12. Apa gue bisa bahagiain bokap nyokap dengan cepet ya?
  13. Apa gue bisa sekolah sampe S3? Gue pengen banget bokap nyokap punya anak sekolah tinggi, bahkan bisa jadi profesor 😭
  14. Apa gue sempet mencapai semuanya itu sebelum kesempatan gue habis? Karena gue sadar, hidup itu cuman permainan dan ga tau kapan game over-nya.

Semuanya gue pikirin sendiri. Bingung mau cerita sama siapa soalnya. Personal banget juga takut yang denger jengah. Ditambah lagi, temen-temen deket gue sepertinya sudah punya dunia mereka sendiri. Gue jadi tambah ngerasa sendirian. Hahaha..... Mungkin karena gue nya yang udah terlalu lama menghilang dari mereka, jadi gue ga bisa selalu deket sama mereka lagi sekarang. Di kampus itu, sayangnya susah dapetin orang yang bisa nyaman gue ajak buat gila-gilaan. Gue jadi inget sama filosofi rumah tua. Rumah yang udah lama berdiri, pasti akan banyak renovasi dan perubahan sebagai bagian dari pemeliharaan. Satu per satu barang atau ruangan dalam rumah itu akan berganti. Hingga suatu saat kita bakalan sadar, udah menghapus beberapa kenangan dan lambat laun akan hilang seluruhnya. Kita pun ga akan tau lagi dahulu ada apa aja di sana. Mungkin ada yang bilang, persahabatan lebih dari 7 tahun itu akan awet. Gue hanya bisa berdoa dan mengamininya. Tapi, justru yang gue rasain mungkn akan sebaliknya. Wajar jika saatnya nanti gue akan hilang dan digantikan yang baru. Karena gue mungkin udah terlalu ketinggalan jaman. Dan lambat laun, seperti ruangan di rumah tua, gue akan direnovasi dan hilang dari dalam rumah itu. Tergantikan dengan interior baru dan furniture yang lebih kekinian agar pemilik rumah ga merasa bosan.

Kalo dipikir-pikir kondisi gue sekarang, gue kadang suka ngerasa sedih sendiri. Gue udah sarjana, tapi masih minta sama orangtua. Kalo ke kampus, uang yang dikasih nyokap cuman abis buat ongkos aja. Beli pulsa aja kudu nabung dulu sisa ongkos seribu-dua ribu. Pengen jajan di warung aja, kudu ditahan gegara malu kalo harus minta. Paling nunggu adek gue jajan, baru kalo ditawarin gue bisa jajan. Jalan-jalan keluar rumah aja juga jarang karena ga ada duit. Lagi-lagi, malu kalo harus minta uang. Nangkepin ikan cere deket rumah palingan yang bisa ngilangin penat gue kalo lagi di rumah dan ga ngampus. Entah apa yang tetangga pikirkan tentang gue. Hahahaha....... Abisnya, kirim lamaran sana sini, mintanya pasti harus udah dokter hewan. Lamar ke penerbit jadi editor juga belom ada yang respon. Mau daftar beasiswa, ga punya sertifikat TOEFL. Pengen banget jarang ngampus buat saat ini sampe gue dapet kerjaan sendiri. Bukan karena gue males, tapi gue bingung ongkosnya. Itupun gue ga akan bisa makan siang, dan selalu berhasil gue tahan sampe gue pulang ke rumah biar gue ga ngeluarin uang lagi.

Kadang gue iri ngeliat temen yang bisa makan apa aja di restoran enak atau pergi sana-sini, entah karena udah kerja atau duit ortunya. Begitu juga sama gadget yang mereka punya. Temen-temen disekelilingnya yang juga kekinian bisa diajak kemana-mana. Upload di medsos tentang kebersamaan mereka di tempat eksis. Gue cuman bisa senyum aja kalo tiap kali mereka ngomongin atau liat hal mewah itu di depan gue. "Enak ya, kapan gue bisa kayak gitu?"
Tapi, cepet-cepet selalu bisa sadar. Kalo apa yang gue miliki sekarang itu juga udah sangat mewah kok dan semoga, gue ga jadi kufur nikmat :(
Gue suka minder, sama yang gue punya. Tapi, gue selalu inget omongan nyokap. Biarpun kita ga punya apa-apa, asal jadi orang jujur itu udah lebih dari cukup.

Duh, malah jadi curhat kemana-mana gini gue yak. Hahaha.... :D
Tapi, emang cuman ini doang sih media yang bisa gue pake buat curahin semua uneg-uneg dari dalam otak gue sekarang ini. Sedikit plong bisa ceritain semuanya.
Emang cuman waktu yang bisa jawab semuanya nanti :)
And I hope everything is gonna be okay q[^∆^]p