Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Monday, September 14, 2020

Pengurusan Keanggotaan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Kartu Tanda Anggota (KTA), dan Surat Tanda Registrasi Veteriner (STRV)

Untuk menjadi anggota PDHI sebenernya gampang. Ada tiga status di mana seseorang bisa menjadi anggota, yaitu:

  1. Anggota muda: Mahasiswa koas, katanya secara otomatis menjadi anggota muda waktu mereka masuk jenjang PPDH dan menjadi dokter hewan muda (koas) di rotasi klinik.
  2. Anggota biasa: Dokter hewan yang baru lulus, mengucapkan sumpah (PSDH), dan lulus Ujinas KDHI. Kemudian mengurus administrasi untuk terdaftar sebagai anggota.
  3. Anggota kehormatan: Setiap orang yang diberi kehormatan menjadi anggota PDHI karena atas jasanya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran hewan di Indonesia.

Buat jadi anggota biasa PDHI, syarat administrasi yang perlu dipersiapkan yaitu:

  1. Membuat akun pada laman PDHI Member login
  2. Isi form dan upload semua berkas yang dibutuhkan, semisal scan ijasah Sarjana Kedokteran Hewan, scan ijasah Pendidikan Profesi Dokter Hewan, foto diri (biasanya pria background merah, wanita background biru), scan KTP sendiri, scan KTP pasangan (jika ada sudah menikah)
  3. Kemudian, saat mengisi form tersebut kita harus memilih PDHI Cabang dimana kita berdomisili atau tinggal. Hal ini perlu diperhatikan karena secara otomatis kita akan terdaftar sebagai anggota di PDHI Cabang yang kita pilih dan berhubungan dengan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan Surat Tanda Registrasi Veteriner (STRV) yang akan dikirimkan ke PDHI Cabang yang kita pilih saat selesai dibuat. Pikirkan dengan baik juga.
  4. Dalam laman PDHI Member login juga kita tidak hanya bisa mengurus KTA namun juga mengurus STRV secara online.
  5. Kemudian melakukan pembayaran tagihan administrasi pengurusan KTA, STRV, dan biaya keanggotaan lainnya. Bukti pembayaran dapat dikirim sesuai instruksi. Mohon disimpan karena untuk berjaga jaga sekretariat PDHI Cabang juga meminta bukti pembayaran.
  6. Sebenarnya setelah kita memiliki akun dan mendaftar serta mengisi semua form, kita sudah memperoleh No. KTA. Namun, KTA secara fisik dan STRV akan segera dibuat dan dikirimkan ke PDHI Cabang setelah semua biaya administrasi selesai.
  7. Kemudian tinggal menunggu atau menghubungi kontak person PDHI terkait KTA dan STRV, bisa ditanyakan a Rppakah sudah dibuat dan dikirim ke PDHI Cabang yang kita pilih. Bisa juga langsung menghubungi sekretariat PDHI Cabang yang kita pilih. Biasanya sekitar 1 bulan semuanya selesai. Untuk pengambilan biasanya syaratnya adalah melunasi iuran keanggotaan pada PDHI Cabang yang kita pilih, besaran nya tergantung masing-masing PDHI Cabang karena tidak sama.
  8. Setelah selesai, biasanya kita dimasukkan ke dalam grup WhatsApp sesuai dengan PDHI Cabang yang kita pilih dan selamat, Anda resmi menjadi anggota PDHI yang teregistrasi.
  9. KTA dan STRV yang kita punya ini kemudian digunakan untuk mengurus surat rekomendasi PDHI Cabang guna kepentingan pengurusan Surat Izin Praktik (SIP) yang bisa diurus pada Dinas pemerintah kabupaten/kota di mana PDHI Cabang kita ada. 1 dokter hewan maksimal hanya bisa mengurus 3 SIP di tempat praktek dalam wilayah PDHI Cabang tersebut.
  10. Catatan: kita juga bisa menjadi anggota PDHI Cabang lain dengan mendaftarkan secara manual. Atau dengan kata lain kita bisa memiliki keanggotaan PDHI Cabang secara ganda apabila wilayah praktek kita juga berada pada wilayah PDHI Cabang lain yang bertetanggaan. Namun dengan konsekuensi, kita harus membayar iuran keanggotaan sejumlah PDHI Cabang yang kita daftarkan.
Berikut KTA dan STRV yang akan diperoleh. Untuk KTA berlaku seumur hidup dan STRV harus diperbaharui 5 tahun sekali dengan mengumpulkan SKPB (Satuan Kredit Pendidikan Berkelanjutan) yang bisa diperoleh dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan profesi, pelatihan, pendidikan berkelanjutan, publikasi ilmiah, dll.



Untuk menjadi anggota Organisasi Non Teritorial (ONT) hanya bisa kita lakukan apabila kita sudah terdaftar di PDHI dan memiliki KTA serta STRV. Hanya 2 itu syarat dokumennya. Biasanya hanya tinggal menghubungi sekretariat ONT atau kontak person ONT yang kita pilih kemudian mengisi form online dan membayar iuran keanggotaan ONT.

Semoga bermanfaat dan membantu untuk dokter hewan yang baru lulus.

Tuesday, August 25, 2020

Kebiasaan Ortu

Suka ada yang tanya, kecintaan gue sama baca buku atau nulis sesuatu itu dari mana sih asalnya?

Mungkin tanpa disadarin, kebiasaan bokap yang suka bawain majalah dari tempat kerjanya waktu gue SD sampe SMP buat gue baca di rumah jadi salah satu trigger gue suka baca bacaan apapun. Majalah yang suka dibawa justru bukan majalah hiburan, tapi majalah soal tempat kerja nya yang notabene adalah perusahaan transportasi taksi. Isinya ga akan jauh-jauh dari info perusahaan. Entah soal informasi pegawai bulan ini lah, kegiatan perusahaan, produk jasa layanan transportasi terbaru, dll.

Ada 1 buku yang paling gue inget sampe sekarang, dan bukunya masih ada di kamar di rumah. Buku berbahasa Inggris soal pengembangan diri yang bokap "pungut" di jok belakang taksi yang beliau beresin waktu jam kerja. Katanya itu punya penumpang "bule" yang ketinggalan dan ga ada yang klaim selama seminggu, akhirnya bokap bawa pulang trus dikasih ke gue buat gue baca.

Lahir dari keluarga biasa dan ga punya privilege, ngebuat gue ga sempet icip-icip kursus bahasa Inggris itu gimana. Bahan bacaan kek gitu sih yang jadi preferensi buat ngebiasain baca artikel bahasa Inggris.

Ketertarikan sama Harry Potter dari SMP justru sedikit ngasih hak istimewa ke gue kalo lagi pinjem buku di perpus SMP. Saking suka bolak-balik ke sana, mas-mas penjaga perpusnya sampe apal dan buatin kartu perpus cadangan karena suka abis di ttd buat diisi buku yang dipinjem. Alhasil, novel Harry Potter yang ada di lemari referensi dan ga bisa dipinjem sama siswa lain selalu diijinin buat dipinjem sama gue trus dibaca di rumah.
Sayang, sampe sekarang tinggal 3 judul lagi yang belum lengkap di rak buku kostan.

Oh iya, satu lagi.
Ada kebiasan gue dari kecil yang ga tau sih itu aneh apa emang orang lain juga lakuin pas nongkrong di kamar mandi.
Bacain satu-satu kemasan produk apapun yang ada di kamar mandi buat ilangin bosen di kamar mandi. Entah detergen, pembersih lantai, shampoo, sabun mandi, pasta gigi, dll. Suka bacain bahan aktifnya apa. Alamat PT nya di mana. Apa kegunaannya. Pertolongan pertama kalo keracunan produk itu gimana.
Gara-gara itu juga, pas pelajaran kimia kelas 1 SMP kebantu banget waktu ujian soal bahan kimia di rumah tangga 😂

Kalo nulis dan nyatet sesuatu, mungkin diturunin dari nyokap yang suka nyatetin pemasukan sama pengeluaran keluarga tiap hari.
Jadi ada kebiasaan nyokap di rumah, beli beberapa buku tulis. Buat ditulisin kas masuk-keluarnya uang.
Dari situ akhirnya jadi kebiasaan juga sampe sekarang ngikutin catet pemasukan sama pengeluaran uang tiap bulan. Sampe kadang nempelin struk belanja juga kek buat LPJ 😂

Berawal dari kebiasaan ortu yang kek gitu sepertinya, akhirnya gue nikmatin banget baca sesuatu apapun itu atau nyatet apapun, terutama soal pengeluaran.

Friday, March 20, 2020

Penggunaan Antibiotika yang Bijak pada Hewan Peliharaan untuk Menjaga Kesehatan Semesta

Sebagai seorang dokter hewan yang pernah berpraktik dalam bidang satwa akuatik dan hewan kecil, seperti anjing dan kucing, banyak sekali dari klien saya yang membawa hewan peliharaannya dengan kasus-kasus penyakit infeksius yang tak lepas dari infeksi saluran pernapasan, gangguan pencernaan, dan beberapa kasus lain seperti pus atau adanya luka bernanah pada beberapa bagian tubuh. Pada saat itu banyak sekali pasien-pasien dari jenis kucing yang menderita penyakit infeksius dan saya resepkan antibiotika sebagai obat untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi saluran pernapasan menjadi primadona kasus yang banyak saya temui dan tak jarang memasukkan obat dari golongan antibiotika sebagai talaksana penyakit tersebut. Sama seperti dokter manusia, kami para dokter hewan pun selalu melakukan edukasi kepada klien terhadap kondisi yang sedang dialami oleh hewan peliharannya. Termasuk pendidikan dalam memberikan antibiotika secara teratur untuk kesembuhan pasien. Sebagian dari klien dapat memahami instruksi-instruksi yang saya berikan bahwa untuk memberikan antibiotika tidak boleh sembarangan dan harus tepat waktu serta harus dihabiskan. Akan tetapi, tidak sedikit klien juga yang terkadang acuh tak acuh dan sulit untuk disiplin dalam meminumkan obat untuk hewan peliharaannya. Tidak jarang setelah waktu obat yang seharusnya habis, namun banyak klien yang kembali datang ke meja praktik dengan keluhan hewan peliharaannya belum sembuh dan meminta obat lain yang khasiatnya cepat untuk menyembuhkan penyakit. Padahal ketika saya tanya, apakah antibiotikanya sudah diberikan secara tepat waktu dan kontinu hingga habis. Jawaban yang banyak ditemui pun mengaku sulit untuk meminumkan obat kepada hewannya, atau lupa memberikan, atau sangat sibuk sehingga obat yang diberikan tidak teratur. Mendengar hal tersebut, saya pun selalu tersenyum dengan lemas dan kembali menjelaskan mengenai kondisi yang akan terjadi apabila antibiotika tidak diberikan dengan disiplin dan tidak sesuai jadwal, termasuk bahaya akan terjadinya resistensi antibiotika.

Resistensi antibiotika merupakan sebuah fenomena di mana jenis antibiotika sudah tidak mampu lagi untuk membunuh atau bahkan hanya sekedar menghambat pertumbuhan bakteri. Fenomena ini sudah banyak dikaji dalam bidang kesehatan karena dampak yang ditimbulkan sangat mengkhawatirkan dan membahayakan bagi kesehatan manusia. Resistensi antibiotika terjadi akibat banyaknya penggunaan salah satu golongan obat ini yang kurang bijak di tengah-tengah masyarakat. Para tenaga kesehatan yang diberikan kewenangan untuk melakukan transaksi terapeutik pun sudah memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana cara mengonsumsi antibiotika yang baik dan benar. Namun, masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan saran medis yang diberikan. Sehingga kejadian resistensi antibiotika pun banyak ditemukan di lapangan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Sebagai seorang pencinta hewan yang bertanggung jawab, membawa hewan peliharaan Anda untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai oleh dokter hewan sudah menjadi sikap yang sangat bijak. Namun, alangkah lebih baik lagi setiap obat yang diresepkan oleh dokter hewan kepada hewan peliharaan tercinta hendaknya diberikan sesuai dengan takaran dan waktu pemberian yang telah dijelaskan oleh dokter hewan sebelumnya. Jangan ragu kembali bertanya kepada dokter hewan yang tengah menangani hewan peliharaan Anda apabila mendapatkan kesulitan atau lupa terhadap dosis dan aturan pakai dari obat tersebut untuk menghindari kesalahan dosis yang dapat menimbulkan efek samping, baik bagi hewan peliharaan maupun lingkungan sekitarnya.

Resistensi antibiotika sendiri terjadi karena adanya pengobatan terhadap infeksi bakterial menggunakan preparat antibiotika yang tidak tepat dosis maupun tepat waktu pemberiannya. Kerja antibiotika sendiri digolongkan menjadi antibiotika yang bersifat bakteriostatik atau hanya menghambat pertumbuhan sel-sel bakteri saja dan bersifat bakteriosidal atau mematikan sel-sel bakteri. Apabila antibiotika yang bersifat bakteriosidal diberikan kepada hewan peliharaan Anda dengan dosis yang kurang secara terus-menerus atau tidak tepat waktu pemberiannya, maka akan membuat beberapa sel bakteri tidak mati seluruhnya dan meninggalkan generasi sel bakteri yang beradaptasi terhadap keberadaan antibiotika tersebut. Kondisi tersebut menjadi trigger terhadap sel bakteri yang mampu bertahan hidup untuk mengaktifkan gen resisten di dalam materi genetiknya agar memproduksi senyawa atau mengubah protein struktur selnya menjadi tidak dikenali lagi oleh molekul antibiotika. Dalam tahap ini, bakteri sudah mampu untuk melindungi dirinya dari ancaman keberadaan antibiotika. Sehingga pengobatan menggunakan antibiotika dari jenis tersebut sudah tidak mempan dan tidak berhasil lagi menahan atau membunuh sel-sel bakteri. Pada akhirnya, bakteri yang mampu bertahan hidup akan membelah diri dan menghasilkan generasi bakteri yang memiliki gen penyandi resistensi terhadap antibiotika yang tengah digunakan.

Bahaya akan generasi bakteri yang adaptif terhadap antibiotika pun tidak hanya sampai di situ saja. Bakteri yang memiliki potensi resisten dapat memberikan gen resistensinya kepada sesamanya atau berlainan spesies bakteri. Hal ini sangat memungkinkan karena bakteri memiliki komponen materi genetik atau DNA yang dapat bergerak (mobile genetic) dan berpindah secara mudah dan tersisipkan pada materi genetik bakteri lain. Mobile genetic yang banyak berperan dalam kejadian resistensi antibiotika dapat berupa plasmid, integron, ataupun transposon. Ketiganya merupakan istilah DNA yang dapat berpindah dengan mudah. Apabila gen resisten yang telah dimiliki oleh bakteri penyebab penyakit pada hewan peliharaan Anda aktif, maka bakteri tesebut dapat “menularkan” kemampuan resistensinya tersebut ke bakteri lain dalam satu jenis atau bahkan berlainan jenis. Kondisi semakin mengkhawatirkan apabila gen resisten tersebut “ditangkap” oleh bakteri-bakteri baik pada lingkungan atau mikroflora normal yang terdapat di dalam tubuh hewan peliharaan maupun diri Anda. “Tongkat estafet” dari gen resisten tersebut akan terus menerus diberikan kepada bakteri-bakteri lain hingga memungkinkan suatu saat nanti apabila Anda maupun anggota keluarga lain di rumah mengalami sakit dan diberikan pengobatan antibiotika yang sama dengan sebelumnya diberikan kepada hewan peliharaan maka akan berpotensi sulit untuk sembuh dan memerlukan dosis tambahan atau alternatif antibiotika lain yang golongannya lebih tinggi. Padahal jika kita ketahui, penelitian mengenai kandidat antibiotika baru di dunia tidak lebih cepat jika dibandingkan munculnya sifat dari gen-gen resistensi antibiotika yang ada.

Begitu juga halnya jika Anda seorang hobbist dari ikan-ikan hias. Ikan hias kesayangan yang sakit memang sudah pasti membuat kita sebagai pemilik merasa resah dan ingin menyembuhkan. Namun, obat-obat ikan yang dijual dan beredar di toko-toko akuarium di Indonesia pun masih belum memiliki komposisi baku. Regulasi hukum terhadap peredaran obat ikan yang teregistrasi dan dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia masih belum dapat diindahkan oleh para penjual di toko ikan. Masih rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya dan ancaman resistensi antibiotika menjadikan hal tersebut masih banyak ditemui di lapangan. Bagi para hobbist, komunikasi antarpecinta ikan hias menjadi salah satu sarana dalam bertukar informasi mengenai pengobatan ikan peliharaannya. Tak jarang menggunakan obat ikan yang belum teregistrasi oleh otoritas veteriner yang membawahi bidang medik akuatik maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan, dimana komposisinya bisa saja mengandung beberapa antibiotika yang jenis, dosis, dan aturan pakainya tidak jelas terpampang dalam kemasannya yang berbahasa asing. Kondisi ini juga menjadi sebuah potensi berkembangnya resistensi antibiotika di bidang perikanan akibat tidak bijaknya masyarakat dalam memperhatikan jenis obat apa yang mereka gunakan untuk pengobatan ikan. Berbagai penelitian mengenai deteksi gen resistensi antibiotika asal bakteri penyebab penyakit pada ikan sudah menjadi bukti ilmiah bahwa potensi resistensi antibiotika dapat ditemukan pada berbagai lingkungan, tidak terkecuali di lingkungan perairan. Sama halnya dengan skenario “tongkat estafet” gen resistensi antibiotika yang dijumpai pada hewan kesayangan di darat, bakteri di perairan akan dengan mudah mengalir menuju aliran air lain yang ada di sekitarnya. Air sisa menguras atau menyifon (menyedot kotoran dari dasar kolam atau akuarium), ikan mati yang bisa saja mengandung bakteri dan langsung dibuang ke saluran pembuangan air umum, atau air sisa membersihkan filter kolam maupun akuarium bisa menjadi sumber bakteri perairan yang mungkin saja dapat menyebarkan gen resisten pada bakteri-bakteri lain di lingkungan. Yang akhirnya mampu memberikan efek pada kesehatan manusia karena gen resisten tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Manusia telah sangat dekat berdampingan hidup dengan hewan, terutama hewan peliharaan yang dapat sakit dan diobati. Konsep one health dapat diterapkan sebagai suatu acuan untuk menjaga kesehatan semesta, yaitu kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Adapun langkah yang bijak dan dapat diambil untuk mencegah isu resistensi antibiotika ini menjadi semakin mengkhawatirkan bagi para pecinta hewan adalah hendaknya mengikuti aturan pakai obat-obatan yang telah diresepkan, terutama antibiotika; selalu berkonsultasi terlebih dahulu pada dokter hewan Anda apabila akan memberikan antibiotika; perhatikan waktu pemberian antibiotika pada hewan kesayangan Anda. Sebagai contoh, apabila dalam aturan pakai dikatakan harus diminumkan 2 kali sehari maka yang dimaksud adalah pemberian antibiotika berselang 12 jam sekali dalam waktu 24 jam. Jika obat pertama diberikan pada pukul 6 pagi maka harus diberikan kembali pada pukul 6 petang; dan yang terpenting adalah selalu habiskan antibiotika pada hewan kesayangan Anda sehingga tidak memberikan celah bagi bakteri untuk tumbuh dan mengembangkan sifat resistensinya.

Bagi para pecinta ikan hias, adapun langkah nyata yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi kejadian resistensi antibiotika adalah selalu menggunakan obat-obatan yang telah terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia; selalu berkonsultasi terlebih dahulu oleh dokter hewan praktisi satwa akuatik apabila ingin menggunakan obat-obatan atau antibiotika tertentu di akuarium atau kolam Anda; serta selalu mendesinfeksi terlebih dahulu semua air asal akuarium atau kolam Anda, baik dari sisa mencuci filter maupun hasil menyifon, sebelum dibuang ke dalam saluran pembuangan air umum sehingga tidak ada celah bagi bakteri untuk mengontaminasi perairan yang lebih luas lagi.

Dengan memperhatikan semua anjuran yang ada secara seksama, kita telah membantu menjaga kesehatan semesta. Memelihara hewan bukanlah suatu perkara yang dilarang, namun adanya kebiasaan-kebiasaan buruk yang berdampak pada kesehatan manusia haruslah dihindari dan selalu menjadi fokus perhatian agar keluarga terdekat maupun lingkungan sekitar kita tetap sehat dan terhindar dari masalah kesehatan yang lebih luas lagi, seperti masalah resistensi antibiotika ini.

Monday, March 9, 2020

My Dreams My Adventures: About Hopes to Become An Aquatic Veterinarian in Indonesia


Saya sudah 1.5 tahun lebih lulus sebagai dokter hewan dan mencoba istiqomah dalam bidang aquatic medicine (benar-benar whole aquatic medicine). Mulai saat sarjana saya tertarik dengan ikan dan makhluk air lainnya. Kemudian di kampus almamater, saya bertemu dengan Profesor satwa akuatik, Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu, yang banyak meneliti tentang penyakit KHV pada koi dan ikan mas serta terapinya. Serta kajian ilmiah lainnya yang berhubungan dengan dunia perikanan. Di sana saya tertarik untuk belajar lebih dalam di bidang ini. Masuk rotasi klinik elektif koas sempat ambil bagian di ilmu kesehatan satwa akuatik dan magang di Dunia Air Tawar TMII kemudian bertemu mentor saya di sana, dok Disa Syahrani. Hingga setelah lulus sempat terjun sebagai praktisi dokter satwa akuatik di akuarium publik dan praktik mandiri menangani beberapa masalah pada kolam-kolam koi klien. Berbekal mengikuti tutorial video pada channel YouTube Raymond Loh, DVM, Cert.Aq.V, saya belajar otodidak. Namun karena saya merasa masih belum percaya diri dengan ilmu kesehatan satwa akuatik yang saya bawa setelah lulus (karena mungkin kurang dari 1% ilmu di bidang ini diajarkan di kampus), pada akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya kembali sampai saat ini dengan mengambil topik penelitian tentang penyakit bakterial pada ikan agar lebih memantapkan lagi kemampuan dasar teori, praktik, dan berpikir ilmiah di bidang ini. Saya ditemukan oleh promotor sekaligus guru terhebat, Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS., seorang profesor bakteriologi dan imunologi yang  mengajarkan saya untuk dapat memanfaatkan potensi imunoglobulin Y telur ayam sebagai alternatif imunoprofilaksis dan imunoterapi terhadap penyakit streptococcosis pada komoditas ikan nila merah (Oreochromis sp.). Saya juga banyak belajar tentang bakteri Streptococcus dan yang se-famili-nya untuk dapat benar-benar memahami penyakit yang sedang saya teliti dari beliau. Begitu juga halnya dengan proses imunologi yang terjadi pada makhluk hidup.



Beberapa dokter hewan yang berkecimpung dalam dunia akuatik seperti yang disebutkan adalah role model saya untuk dapat bermimpi menjadi seperti mereka. Namun kesehatan satwa akuatik sangatlah luas kompetensi yang harus dicapai. Karena menjadi dokter satwa akuatik tersertifikasi seperti dokter Loh, kombinasi antara aquaculture, ikhtiologi, aquatic verinary medicine, oceanografi, biologi kelautan, ahli higiene dan sanitasi pangan asal produk perikanan, dan ahli fisikokimia perairan harus dipelajari seutuhnya. Dan tidak hanya ikan, namun mamalia akuatik, krustasea, echidodermata, bivalva, dan avertebrata akuatik juga harus dipelajari. Tidak hanya ikan konsumsi, namun ornamental fish dan ikan liar untuk kelestarian plasma nutfah akuatik juga perlu dikuasai. Dalam 2 tahun kedepan saya berencana mengajukan portofolio saya ke World Aquatic Veterinary Medical Association (WAVMA) agar memperoleh gelar Certified Aquatic Veterinarian (Cert.Aq.V) dan menggenapkan cita-cita saya sebagai dokter satwa akuatik tersertifikasi WAVMA di Indonesia. Karena medik akuatik di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dengan dunia luar sehingga harus ada yang meneruskan dan mengembangkan ilmu ini di sini. Ikan dan sumberdaya perairan yang berhubungan dengan penyakitnya dan kesehatan manusia juga merupakan bagian dari wewenang dokter hewan. Apalagi Indonesia adalah negara maritim yang punya potensi bahari dan perikanan yang belum banyak tereksplorasi.