(Oleh:
Rifky Rizkiantino B04110032)
Jika kita mendengar atau
mengucapkan istilah pertanian, mungkin sebagian besar dari kita akan
membayangkan sawah, kebun, ladang, padi atau hal-hal lainnya yang hanya berhubungan
dengan pertanian tanaman budi daya. Padahal sebenarnya pertanian merupakan
suatu kegiatan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia yang berupa
papan, sandang, dan pangan. Kebutuhan papan atau tempat tinggal dapat kita
peroleh dari bahan-bahan alam yang dapat diambil dari komunitas hutan atau budi
dayanya. Begitu juga kebutuhan sandang atau pakaian yang dapat kita ambil dari
hasil budi daya tanaman serat yang ada. Sedangkan kebutuhan pangan adalah
kebutuhan yang memiliki banyak diversitas, dimana pangan dapat manusia peroleh
dari hasil budi daya tanaman atau budi daya hewan, baik hewan darat maupun
hewan air. Keadaan ini membuktikan bahwa pertanian bukan hanya berbicara
mengenai kebutuhan pangan asal tanaman saja, namun juga berbicara mengenai
bidang kehutanan, peternakan, perikanan, serta bidang-bidang lainnya yang
mendukung kegiatan pertanian dalam arti luas tersebut.
Begitu luasnya makna dari pertanian,
menjadikan pertanian memiliki arti yang vital bagi kehidupan umat manusia.
Berpuluh-puluh tahun manusia melakukan pemuliaan terhadap sumber bahan-bahan
yang mampu memenuhi ketiga kebutuhan pokoknya tersebut. Salah satunya adalah
pemuliaan sumber pangan yang berasal dari hewan.
Hewan merupakan salah satu sumber
pangan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Dengan mengonsumsi pangan asal
hewan, manusia mendapatkan suatu keseimbangan sumber energi bagi aktivitasnya
sehari-hari. Karena tanaman tidak selalu dapat memenuhi sumber energi yang
dibutuhkan oleh manusia untuk tumbuh dan berkembang, hal ini membuat manusia
menambahkan hewan dalam “daftar menunya” sehari-hari. Walaupun pangan asal
hewan memberikan manfaat yang lebih kepada manusia, namun pada kenyataannya
selalu diikuti dengan berbagai masalah. Salah satu masalah yang pernah ada
adalah masalah mengenai cara manusia dalam memperlakukan hewan untuk dapat memperoleh
sumber pangan hewani bagi kehidupannya. Masih hangat di telinga kita mengenai
kabar di negara ini tentang kasus cara
manusia dalam memperlakukan hewan konsumsi yang dinilai tidak
berprikemanusiaan. Dengan semena-mena manusia memperlakukan hewan tersebut
untuk mendapatkan hasil produknya. Berbagai perlakuan kasar, seperti: memaksa
sapi untuk jatuh dengan melukai kaki sapi dengan dalih agar sapi tersebut tidak
berdiri kembali sehingga memudahkan pemotongan atau memberikan sapi tersebut
air hingga mati agar daging yang diperoleh terlihat tampak lebih gemuk dan
besar adalah sebagian kecil masalah yang ada dalam proses pemenuhan kebutuhan
pangan asal hewan. Jika ditinjau dari beberapa perspektif, hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi
manusia. Dalam sudut pandang kesejahteraan hewan misalnya, keadaan ini dinilai
telah melanggar konsep kesejahteraan hewan yang ditetapkan dan diakui secara
internasional oleh organisasi kesehatan hewan dunia, yaitu Office International
des Epizooties (OIE), sehingga menyebabkan impor sapi yang selama ini dilakukan
oleh Australia dihentikan secara sepihak oleh pihak yang mengimpor. Indonesia
yang notabene adalah pihak yang diimpor menyikapi keaadaan ini sebagai keadaan yang
merugikan bagi bangsanya karena hal ini dapat mengganggu stabilitas sumber
daging bagi rakyatnya. Padahal menurut penulis, momen ini dapat dijadikan
sebagai sebuah batu loncatan bagi para peternak lokal untuk mengembangkan usaha
bagi negerinya sendiri. Bukannya penulis menganggap perilaku kasar yang
ditujukan pada sapi impor tersebut sebagai suatu hal yang menguntungkan, namun
lebih kepada usaha introspeksi diri dalam mengembangkan potensi bangsa. Memang
memperlakukan hewan secara kasar tidak dibenarkan. Bahkan salah satu peraih
nobel perdamaian, Mahatma Gandhi, pernah berkata bahwa sebuah negara dikatakan
negara besar dapat dilihat dari bagaimana cara negara tersebut memperlakukan
hewan di negerinya. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah sebuah
negara yang belum dapat dikatakan sebagai negara besar karena dalam
memperlakukan hewannya saja, Indonesia belum mampu untuk menyediakan
kesejahteraan bagi para hewan di negerinya sendiri. Sungguh ironis memang, jika
Indonesia yang selama ini dianggap dan “menganggap” dirinya sebagai salah satu
negara yang masyarakatnya ramah dan menjunjung tinggi norma-norma yang ada,
namun justru keadaan sebenarnya tidak demikian.
Seperti yang penulis utarakan pada
paragraf sebelumnya mengenai kasus penghentian impor sapi oleh Australia kepada
Indonesia, seharusnya Indonesia mampu mengambil kesempatan ini untuk melepaskan
diri dari ketergantungan impor daging pada negara lain. Indonesia memiliki
potensi yang besar dalam mengusahakan swasembada daging untuk memenuhi kebutuhan
rakyatnya. Kuncinya hanya satu, yaitu dapat menyadari wilayah negeri sebelah
manakah yang cocok untuk dijadikan sebagai wilayah pengembangan swasembada
daging. Wilayah sebelah timur adalah wilayah yang cocok untuk mengembangkan
usaha tersebut. Sapi yang terdapat di wilayah ini tidak kalah keadaan dan
kualitasnya jika dibandingkan dengan sapi yang berasal dari Australia. Namun
masalahnya sekarang adalah bagaimana mengembangkan potensi sumber daya manusia
yang ada untuk mengelola sumber daya alam yang telah disediakan oleh tanah
negeri ini. Dalam hal inilah dibutuhkan adanya kerja sama yang sinergis dari berbagai
ahli yang memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Disinilah peran mahasiswa
seharusnya dapat ditonjolkan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari salah satu tri
dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian terhadap masyarakat, sehingga fungsi
tersebut dapat benar-benar terwujud. Mahasiswa peternakan dapat menggunakan
kemampuannya untuk menghasilkan bibit dan pakan unggul bagi para peternak
sehingga dapat diperoleh hasil yang sesuai dengan keinginan. Mahasiswa
kedokteran hewan pun dapat mengambil perannya dalam bidang medis maupun
kesejahteraan hewan yang diternakkan sehingga kondisi fisik dan mental hewan
tersebut dapat terjaga dengan baik. Karena kondisi fisik dan mental dari seekor
hewan ternak dapat memengaruhi kualitas sumber pangan yang dihasilkan oleh
hewan tersebut. Mahasiswa pun juga dapat memberikan penyuluhan yang benar
terhadap cara mengelola suatu usaha peternakan dengan baik. Namun, dalam hal
ini juga seharusnya pemerintah dapat memberikan andilnya dengan cara lebih
memerhatikan kehidupan para peternak agar dapat mengembangkan usaha ternaknya.
Memberikan kesempatan dan modal pada peternak merupakan suatu langkah kecil
namun nyata yang dapat diberikan oleh pemerintah. Hal tersebut juga merupakan
bentuk suatu dukungan moril terhadap peternak agar lebih percaya diri dalam
mengembangkan peternakannya. Dengan adanya kerja sama yang baik dari berbagai
pihak terkait, mungkin dapat merealisasikan slogan swasembada daging yang
selama ini hanya dijadikan sebagai sebuah slogan semata oleh pemerintah. Justru
bukan malah mempersoalkan penghentian impor tersebut secara berlarut-larut atau
malah menurunkan seorang ahli dari sebuah tanggung jawab yang memang sudah
menjadi keahliannya.
No comments:
Post a Comment