Jakarta,
kota metropolitan yang kaya akan seribu warna dan cahaya. Layaknya seribu lampu
neon milik gedung-gedung dan kendaraan yang berkelip-kelip menghiasi wajah
malamnya setiap hari. Jakarta adalah sebuah kota yang menurutku maju namun
belum dapat memajukan semua manusia di dalamnya. Kota yang tidak pernah tidur,
yang semua hal dapat ditemukan di sini, termasuk semua karakter manusia yang
melambangkan sifat orang Indonesia. Namun sayangnya aku belum dapat menyamakannya
dengan New York, Las Vegas, Boston, apalagi Tokyo. Tapi Jakarta punya sesuatu
yang sama dengan kota-kota besar itu. Termasuk kehidupan siang dan malamnya
yang jika kita dapat merenungi dan mendengar dengan seksama jeritan orang di
dalamnya, kita akan menemui letak kesamaannya. Kaum urban, kaum papa, eksekutif
muda, tunawisma, dan pedagang asongan adalah contoh kecil tokoh fakta yang
berlakon dan ikut menyemaraki hidup di Jakarta ini. Profesi dan orientasi hidup
yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun oleh masyarakat general di luar sana juga
dapat ditemukan. Dan aku adalah salah satu manusia penghuni kota modern ini
dengan topeng yang terus kukenakan dalam menghadapi kerasnya Jakarta. Kota yang
sudah memberikan hidup dan yang mungkin juga akan memberikanku mati ketika aku
tidak sanggup mengikuti kemampuan Sang ibukota ini berkembang mengikuti zaman.
Aku
adalah pegawai pria sederhana yang bekerja dan menjadi budak uang di suatu
perusahaan ternama yang bergelut dalam bidang tambang. Ya, mungkin bisa
dibilang aku termasuk manusia ibukota yang beruntung, yang bisa menyaksikan
sejuknya pagi, sesaknya bernapas di siang hari, serta malam gemerlap milik kota
ini. Namun jika dipikir-pikir lagi, aku memang orang yang beruntung. Setelah
menyelesaikan kuliahku, aku bisa mendapatkan posisi sebagai manajer di
perusahaan itu. Posisi yang bisa membuat keluarga, orangtua, dan orang-orang di
sekitarku sekarang ini tersenyum bangga dan berdecak kagum padaku. Orang
melihatku sebagai sosok yang sempurna, mapan dan memiliki peluang besar untuk
dapat menikmati surga dunia dan bisa mendapatkan segalanya. Apalagi tempatku
berpijak dan bermimpi setiap malamnya selama 24 tahun ini bisa memberikanku
segala fasilitas kaum borjuis dengan mudahnya.
Pukul 17.20
Senja
mulai menampakkan paras anggunnya. Pancaran merah lembayung yang bercampur
dengan violet dan hitam di ufuk Barat mulai terlihat dari jendela ruang kerjaku
di lantai 12. Matahari pun seakan lelah menyeruakkan sinarnya yang sedari siang
sudah ia keluarkan dengan garangnya hingga membuat suhu di luar gedung kembali
bersahabat dan membuat orang-orang yang berjalan di luar sana juga kembali
berani untuk meninggalkan penatnya rutininas seharian menuju ke peraduan untuk
memanjakan diri beristirahat diselimuti gelapnya malam. Akupun menjadi salah
satu di antaranya. Bagai burung yang tak sabar untuk pulang kembali ke
sarangnya setelah seharian lelah mencari makan, aku mulai bangkit dan
membereskan semua berkas yang seharian ini memaksaku untuk mengerjakannya. Ingin
rasanya aku cepat untuk sampai ke tempat tidur empukku, namun ternyata waktu
berkehendak lain. Hampir 45 menit waktuku tersita hingga aku benar-benar siap
berjalan keluar ruanganku dan akan kembali untuk mengucapakan “selamat pagi” sekaligus
menyapa mentari pagi keesokan harinya.
Malam
itu aku pulang ke rumahku yang letaknya di sebuah sudut kota ini. Seperti
biasa, aku memilih menggunakan transportasi massa yang tersedia. Kebanyakan pekerja
sepertiku ini memang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuknya
bekerja dan membunuh waktu di jalanan padat pada jam-jam pergi dan pulang
kantor. Dengan dalih ingin segera sampai dan tidak ingin dibuat penat lagi
dengan kondisi jalan yang macet. Namun aku berpikir lain, bagiku transportasi
yang kugunakan setiap hari ini dapat mengenalkanku lebih dekat dengan kota ini.
Lebih dekat dengan cerita yang terpendam dari Jakarta. Cerita yang tidak akan
kita temui kalau kita duduk dan berada di jok mobil empuk berpendingin udara
sambil menikmati dengan egois alunan lagu pop terkini yang dimainkan oleh
pemutar musik di dalamnya. Aku menyukai kereta dan sepertinya aku jatuh cinta
dengan transportasi ini.
Aku
mulai menempelkan karcis berlangganan milikku di pintu masuk stasiun dan mulai
berlari menuju salah satu gerbong kereta yang mengarah ke stasiun Manggarai.
Seperti biasa, gerbong penuh dengan puluhan orang yang tak kukenal. Aku
mengutuk diriku sendiri bila terlalu muluk mengharapkan kalau kereta pada jam
sibuk seperti ini sepi tak berpenghuni. Tua-muda, pria-wanita, bahkan ibu yang
membawa anaknya pun ikut berdesakan dengan “ganas” saat itu karena keinginannya
untuk kembali berkumpul dan berbincang hangat menikmati kopi di ruang televisi
dengan keluarga mengalahkan keletihan yang mereka rasakan seharian ini. Walau
harus memilih berhimpitan satu sama lain ketimbang memilih kereta dengan
keberangkatan berikutnya.
Sesaknya
kereta membuatku tak bisa berpikir apapun, bahkan kelelahanku membuat diri ini
dapat tertidur sejenak walau dalam keadaan berdiri. Aku mulai memejamkan mataku
menikmati harumnya bau yang tidak karuan dan pemandangan yang kulihat setiap
harinya ini, entah sampai kapan. Tidak ada pegunungan, sawah yang indah, atau
pemandangan lain yang bisa memanjakan mata lelah ini. Hanya lautan manusia
egois dan ingin menang sendiri dengan berbagai kedok yang dimilikinya.
Tiga
puluh menit aku berada di kereta itu dan akhirnya kereta pertama yang
kutumpangi pun sampai di stasiun yang kutuju. Bagai ikan Salmon yang berenang
mengikuti derasnya arus sungai, dengan mudahnya aku keluar dari gerbong pengap
itu. Jam yang menggantung diam di salah satu sudut peron di stasiun Manggarai
menunjukkan pukul 18.35. Itu tandanya sudah lebih dari satu jam waktuku
terbuang menikmati rutinitasku di jalanan ibukota Jakarta. Aku bergegas menuju
jalur yang berlawanan arah dari kedatangan kereta pertamaku untuk kembali
menunggu dengan sabar kereta keduaku menuju stasiun Buaran. Aku sudah tidak
bisa menahan letihnya kaki ini hingga sejenak tatapanku menjadi kosong
memikirkan semua hal dalam kehidupanku. Semua hal yang kupertanyakan sedari
dulu. Tentang hidup, tentang kebahagiaan, tentang kebebasan memilih dalam masyarakat, atau apapun yang
membuatku menjadi letih berpura-pura di Jakarta. Tak terasa lamunanku ternyata
berhasil mengisi waktu kosongku saat menunggu tadi. Kereta yang aku tunggu 15
menit yang lalu akhirnya menyadarkanku dengan suara gemuruh khasnya. Sekali
lagi, aku merasakan kembali apa yang aku rasakan di kereta sebelumnya. Dan aku
hanya berharap semoga masih ada bahan lamunanku yang lain yang bisa membunuh
waktu membosankanku di gerbong kereta itu hingga aku sampai di stasiun yang
kumau. Ah, ingin rasanya aku segera merebahkan punggungku ini.
Pukul 19.20
Malam sudah semakin menampakkan
suasana khasnya. Aku keluar dari stasiun Buaran dan menyegerakan langkahku
untuk menaiki angkutan umum menuju hunianku. Namun, ada satu hal yang berhasil
menghentikan sejenak langkah kakiku yang tergesa-gesa itu. Tong sampah besar
dekat stasiun itu mungkin menjadi saksi bisu terhadap warna ibukota. Malam yang
sudah semakin larut, di saat para pekerja kembali ke rumahnya masing-masing
untuk berisirahat menikmati sisa waktu yang tersisa di hari itu bersama
keluarga, namun masih saja ada yang menjadikan malam sebagai ladangnya mencari
rupiah. Wanita tua itu dengan tatapan lesu mencari beberapa botol dan gelas
bekas air mineral atau benda apapun yang masih dapat dihargai dengan rupiah.
Pemandangan yang menurutku pribadi sungguh ironis, namun biasa bagi Jakarta.
Banyak kaum marginal yang terlena dengan mimpi baik tentang kota ini dan
akhirnya terjebak dalam sebuah fatamorgana hidup yang ditawarkan. Atau saat
kulihat anak-anak kecil yang masih semangat bermain sambil menadahkan gelas
bekas minuman ke pengunjung toko waralaba 24 jam di seberang stasiun demi
beberapa receh yang terkadang aku sia-siakan keberadaannya di saku celanaku.
Aku hanya dapat menjadikan diriku sebagai pengamat, layaknya pakar sosial yang
berkomentar tentang mereka, namun tidak mampu berbuat apapun kecuali memberikan
beberapa lembar rupiah yang bernilai kecil sisa aku membeli makanan dan minuman
ringan di toko waralaba tadi. Ini menjadi cerita unik tersembunyi dari Jakarta
yang baru sadar aku baca hari ini.
Pukul 21.05
Akhirnya aku sampai di kamarku.
Kamar pribadi yang lumayan besar untukku sendiri itu membuatku menjadi orang
yang paling bersyukur karena aku dapat merasakan hangatnya tidur di bawah
selimut bermotif garis hijau-putih itu. Entah kenapa, hari ini aku merasa
sedang berdialog dengan Jakarta. Padahal, hari ini tak ada yang unik dari
hari-hari sebelumnya. Hari kerja yang selalu aku lalui dengan senang namun tak
jarang menggerutu juga. Namun ada yang berbeda dari hari ini. Aku banyak
menikmati kehidupan dan cerita yang disuguhkan oleh kotaku ini tanpa kusadari
sedari dulu. Cerita tentang keunikan Jakarta dan orang-orangnya yang katanya
ramah dan bersahabat namun dapat berubah menjadi egois saat terpacu dengan
waktu. Namun itulah Jakarta, dengan kehidupan malamnya yang bisa kita saksikan
jika kita mau mencoba lebih peka terhadap keadaan.
Saat
kita sedang menonton acara kesukaan di televisi, mungkin di suatu tempat di
Jakarta sedang ada orang yang bekerja menggantungkan kehormatan hidupnya demi
dapat bertahan dan mengikuti arus normal kehidupan di kota ini. Kami, manusia
metropolitan, hidup dengan kedok agar dapat hidup dan diterima oleh kehidupan
kota ini yang memang keras dan penuh dengan warna serta cerita. Kekayaan
menjadi sebuah modal dalam strata sosial dan cinta yang terkadang tidak
mengenal tempat yang sepantasnya. Semua hal itu memang bisa kita temukan di
sini, di Jakarta. Dan aku lah satu di antaranya.
Suara
nyaring dari ponselku kembali menyadarkan lamunan hasil letihku di kamar itu.
Kumulai membuka pesannya dan kulihat ternyata kekasihku, orang yang entah
bagaimana aku rela berkorban apapun untuknya padahal ini masih menyisakan tanya
buatku dan hidupku di masa depan, yang mengirim pesan singkat itu.
Dari: Radhit (+6281402989xxx)
Sayang, sudah sampai rumah belum?
Langsung mandi trus tidur ya. Love you.
***
TAMAT
Cerpen ini diikutsertakan dalam rangka kompetisi IPB Art Contest 2014
No comments:
Post a Comment