Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Friday, September 2, 2016

JAKARTA



Jakarta, kota metropolitan yang kaya akan seribu warna dan cahaya. Layaknya seribu lampu neon milik gedung-gedung dan kendaraan yang berkelip-kelip menghiasi wajah malamnya setiap hari. Jakarta adalah sebuah kota yang menurutku maju namun belum dapat memajukan semua manusia di dalamnya. Kota yang tidak pernah tidur, yang semua hal dapat ditemukan di sini, termasuk semua karakter manusia yang melambangkan sifat orang Indonesia. Namun sayangnya aku belum dapat menyamakannya dengan New York, Las Vegas, Boston, apalagi Tokyo. Tapi Jakarta punya sesuatu yang sama dengan kota-kota besar itu. Termasuk kehidupan siang dan malamnya yang jika kita dapat merenungi dan mendengar dengan seksama jeritan orang di dalamnya, kita akan menemui letak kesamaannya. Kaum urban, kaum papa, eksekutif muda, tunawisma, dan pedagang asongan adalah contoh kecil tokoh fakta yang berlakon dan ikut menyemaraki hidup di Jakarta ini. Profesi dan orientasi hidup yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun oleh masyarakat general di luar sana juga dapat ditemukan. Dan aku adalah salah satu manusia penghuni kota modern ini dengan topeng yang terus kukenakan dalam menghadapi kerasnya Jakarta. Kota yang sudah memberikan hidup dan yang mungkin juga akan memberikanku mati ketika aku tidak sanggup mengikuti kemampuan Sang ibukota ini berkembang mengikuti zaman.
Aku adalah pegawai pria sederhana yang bekerja dan menjadi budak uang di suatu perusahaan ternama yang bergelut dalam bidang tambang. Ya, mungkin bisa dibilang aku termasuk manusia ibukota yang beruntung, yang bisa menyaksikan sejuknya pagi, sesaknya bernapas di siang hari, serta malam gemerlap milik kota ini. Namun jika dipikir-pikir lagi, aku memang orang yang beruntung. Setelah menyelesaikan kuliahku, aku bisa mendapatkan posisi sebagai manajer di perusahaan itu. Posisi yang bisa membuat keluarga, orangtua, dan orang-orang di sekitarku sekarang ini tersenyum bangga dan berdecak kagum padaku. Orang melihatku sebagai sosok yang sempurna, mapan dan memiliki peluang besar untuk dapat menikmati surga dunia dan bisa mendapatkan segalanya. Apalagi tempatku berpijak dan bermimpi setiap malamnya selama 24 tahun ini bisa memberikanku segala fasilitas kaum borjuis dengan mudahnya.

Pukul 17.20
Senja mulai menampakkan paras anggunnya. Pancaran merah lembayung yang bercampur dengan violet dan hitam di ufuk Barat mulai terlihat dari jendela ruang kerjaku di lantai 12. Matahari pun seakan lelah menyeruakkan sinarnya yang sedari siang sudah ia keluarkan dengan garangnya hingga membuat suhu di luar gedung kembali bersahabat dan membuat orang-orang yang berjalan di luar sana juga kembali berani untuk meninggalkan penatnya rutininas seharian menuju ke peraduan untuk memanjakan diri beristirahat diselimuti gelapnya malam. Akupun menjadi salah satu di antaranya. Bagai burung yang tak sabar untuk pulang kembali ke sarangnya setelah seharian lelah mencari makan, aku mulai bangkit dan membereskan semua berkas yang seharian ini memaksaku untuk mengerjakannya. Ingin rasanya aku cepat untuk sampai ke tempat tidur empukku, namun ternyata waktu berkehendak lain. Hampir 45 menit waktuku tersita hingga aku benar-benar siap berjalan keluar ruanganku dan akan kembali untuk mengucapakan “selamat pagi” sekaligus menyapa mentari pagi keesokan harinya.
Malam itu aku pulang ke rumahku yang letaknya di sebuah sudut kota ini. Seperti biasa, aku memilih menggunakan transportasi massa yang tersedia. Kebanyakan pekerja sepertiku ini memang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuknya bekerja dan membunuh waktu di jalanan padat pada jam-jam pergi dan pulang kantor. Dengan dalih ingin segera sampai dan tidak ingin dibuat penat lagi dengan kondisi jalan yang macet. Namun aku berpikir lain, bagiku transportasi yang kugunakan setiap hari ini dapat mengenalkanku lebih dekat dengan kota ini. Lebih dekat dengan cerita yang terpendam dari Jakarta. Cerita yang tidak akan kita temui kalau kita duduk dan berada di jok mobil empuk berpendingin udara sambil menikmati dengan egois alunan lagu pop terkini yang dimainkan oleh pemutar musik di dalamnya. Aku menyukai kereta dan sepertinya aku jatuh cinta dengan transportasi ini.
Aku mulai menempelkan karcis berlangganan milikku di pintu masuk stasiun dan mulai berlari menuju salah satu gerbong kereta yang mengarah ke stasiun Manggarai. Seperti biasa, gerbong penuh dengan puluhan orang yang tak kukenal. Aku mengutuk diriku sendiri bila terlalu muluk mengharapkan kalau kereta pada jam sibuk seperti ini sepi tak berpenghuni. Tua-muda, pria-wanita, bahkan ibu yang membawa anaknya pun ikut berdesakan dengan “ganas” saat itu karena keinginannya untuk kembali berkumpul dan berbincang hangat menikmati kopi di ruang televisi dengan keluarga mengalahkan keletihan yang mereka rasakan seharian ini. Walau harus memilih berhimpitan satu sama lain ketimbang memilih kereta dengan keberangkatan berikutnya.
Sesaknya kereta membuatku tak bisa berpikir apapun, bahkan kelelahanku membuat diri ini dapat tertidur sejenak walau dalam keadaan berdiri. Aku mulai memejamkan mataku menikmati harumnya bau yang tidak karuan dan pemandangan yang kulihat setiap harinya ini, entah sampai kapan. Tidak ada pegunungan, sawah yang indah, atau pemandangan lain yang bisa memanjakan mata lelah ini. Hanya lautan manusia egois dan ingin menang sendiri dengan berbagai kedok yang dimilikinya.
Tiga puluh menit aku berada di kereta itu dan akhirnya kereta pertama yang kutumpangi pun sampai di stasiun yang kutuju. Bagai ikan Salmon yang berenang mengikuti derasnya arus sungai, dengan mudahnya aku keluar dari gerbong pengap itu. Jam yang menggantung diam di salah satu sudut peron di stasiun Manggarai menunjukkan pukul 18.35. Itu tandanya sudah lebih dari satu jam waktuku terbuang menikmati rutinitasku di jalanan ibukota Jakarta. Aku bergegas menuju jalur yang berlawanan arah dari kedatangan kereta pertamaku untuk kembali menunggu dengan sabar kereta keduaku menuju stasiun Buaran. Aku sudah tidak bisa menahan letihnya kaki ini hingga sejenak tatapanku menjadi kosong memikirkan semua hal dalam kehidupanku. Semua hal yang kupertanyakan sedari dulu. Tentang hidup, tentang kebahagiaan, tentang kebebasan  memilih dalam masyarakat, atau apapun yang membuatku menjadi letih berpura-pura di Jakarta. Tak terasa lamunanku ternyata berhasil mengisi waktu kosongku saat menunggu tadi. Kereta yang aku tunggu 15 menit yang lalu akhirnya menyadarkanku dengan suara gemuruh khasnya. Sekali lagi, aku merasakan kembali apa yang aku rasakan di kereta sebelumnya. Dan aku hanya berharap semoga masih ada bahan lamunanku yang lain yang bisa membunuh waktu membosankanku di gerbong kereta itu hingga aku sampai di stasiun yang kumau. Ah, ingin rasanya aku segera merebahkan punggungku ini.

Pukul 19.20
            Malam sudah semakin menampakkan suasana khasnya. Aku keluar dari stasiun Buaran dan menyegerakan langkahku untuk menaiki angkutan umum menuju hunianku. Namun, ada satu hal yang berhasil menghentikan sejenak langkah kakiku yang tergesa-gesa itu. Tong sampah besar dekat stasiun itu mungkin menjadi saksi bisu terhadap warna ibukota. Malam yang sudah semakin larut, di saat para pekerja kembali ke rumahnya masing-masing untuk berisirahat menikmati sisa waktu yang tersisa di hari itu bersama keluarga, namun masih saja ada yang menjadikan malam sebagai ladangnya mencari rupiah. Wanita tua itu dengan tatapan lesu mencari beberapa botol dan gelas bekas air mineral atau benda apapun yang masih dapat dihargai dengan rupiah. Pemandangan yang menurutku pribadi sungguh ironis, namun biasa bagi Jakarta. Banyak kaum marginal yang terlena dengan mimpi baik tentang kota ini dan akhirnya terjebak dalam sebuah fatamorgana hidup yang ditawarkan. Atau saat kulihat anak-anak kecil yang masih semangat bermain sambil menadahkan gelas bekas minuman ke pengunjung toko waralaba 24 jam di seberang stasiun demi beberapa receh yang terkadang aku sia-siakan keberadaannya di saku celanaku. Aku hanya dapat menjadikan diriku sebagai pengamat, layaknya pakar sosial yang berkomentar tentang mereka, namun tidak mampu berbuat apapun kecuali memberikan beberapa lembar rupiah yang bernilai kecil sisa aku membeli makanan dan minuman ringan di toko waralaba tadi. Ini menjadi cerita unik tersembunyi dari Jakarta yang baru sadar aku baca hari ini.

Pukul 21.05
            Akhirnya aku sampai di kamarku. Kamar pribadi yang lumayan besar untukku sendiri itu membuatku menjadi orang yang paling bersyukur karena aku dapat merasakan hangatnya tidur di bawah selimut bermotif garis hijau-putih itu. Entah kenapa, hari ini aku merasa sedang berdialog dengan Jakarta. Padahal, hari ini tak ada yang unik dari hari-hari sebelumnya. Hari kerja yang selalu aku lalui dengan senang namun tak jarang menggerutu juga. Namun ada yang berbeda dari hari ini. Aku banyak menikmati kehidupan dan cerita yang disuguhkan oleh kotaku ini tanpa kusadari sedari dulu. Cerita tentang keunikan Jakarta dan orang-orangnya yang katanya ramah dan bersahabat namun dapat berubah menjadi egois saat terpacu dengan waktu. Namun itulah Jakarta, dengan kehidupan malamnya yang bisa kita saksikan jika kita mau mencoba lebih peka terhadap keadaan.
Saat kita sedang menonton acara kesukaan di televisi, mungkin di suatu tempat di Jakarta sedang ada orang yang bekerja menggantungkan kehormatan hidupnya demi dapat bertahan dan mengikuti arus normal kehidupan di kota ini. Kami, manusia metropolitan, hidup dengan kedok agar dapat hidup dan diterima oleh kehidupan kota ini yang memang keras dan penuh dengan warna serta cerita. Kekayaan menjadi sebuah modal dalam strata sosial dan cinta yang terkadang tidak mengenal tempat yang sepantasnya. Semua hal itu memang bisa kita temukan di sini, di Jakarta. Dan aku lah satu di antaranya.
Suara nyaring dari ponselku kembali menyadarkan lamunan hasil letihku di kamar itu. Kumulai membuka pesannya dan kulihat ternyata kekasihku, orang yang entah bagaimana aku rela berkorban apapun untuknya padahal ini masih menyisakan tanya buatku dan hidupku di masa depan, yang mengirim pesan singkat itu.

Dari: Radhit (+6281402989xxx)
Sayang, sudah sampai rumah belum? Langsung mandi trus tidur ya. Love you.


***
TAMAT

Cerpen ini diikutsertakan dalam rangka kompetisi IPB Art Contest 2014

No comments: