Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Saturday, May 20, 2017

Sistem Pendidikan di Indonesia


(Source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNFLX0DfdxaQuhgh-488ngrcuXBRuFMqsbkuFriL8KW5JR9_FrRcjpA2nz-U2qlpJ9nJJrlnd2Tt77GMcrc9wO_FqLokupLB_7DmFD5l70mEgPbyxDcQNP3ivxCy776ccEhp2wsnjAcdTa/s1600/logo.jpg)


Pendidikan Indonesia memang masih merangkak untuk bisa dikatakan maju, seperti negara-negara lainnya. Walaupun memang kita tidak bisa mengatakan bahwa pendidikan di negara ini buruk karena mungkin masih ada yang lebih buruk sistemnya dari kita.

Tulisan ini cuma sekedar buah pikiran saya mengenai pendidikan di Indonesia, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, yang pernah saya tempuh. Karena sebenarnya bukan maksud buat mencibir, melainkan hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg yang ada di dalam otak sebagai seorang pelajar dan mungkin sebagai (calon) pengajar.
Dari pendidikan dasar saya bersekolah di sekolah negeri dan hingga jenjang universitas pun juga diberikan kesempatan buat mengenyam di universitas negeri terkemuka di Indonesia. Apa yang saya rasakan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan atmosfer "negeri" banyak hal yang bisa saya dapat. Mungkin sebagian masyarakat Indonesia punya alasan yang lebih kurang sama dengan saya "kenapa memilih masuk sekolah negeri ketimbang sekolah swasta?"

Jawabannya mungkin karena biaya di sekolah negeri relatif lebih terjangkau ketimbang biaya sekolah swasta. Karena hal itu masyarakat, termasuk saya, berbondong-bondong berusaha agar bisa diterima di sekolah negeri yang notabene milik pemerintah sehingga bantuan biaya pemerintah terhadap operasional pendidikan di sekolah negeri dapat diperoleh. Hal inilah yang membuat biaya di sekolah negeri lebih terjangkau.

Selama saya bersekolah, murid di sekolah negeri relatif mendapatkan perhatian yang rata dari gurunya. Walaupun ada beberapa kasus yang mengecualikan, seperti murid yang pandai pasti akan lebih dikenal oleh guru atau murid yang banyak berulah nakal juga pasti akan lebih diperhatikan guru. Tidak jarang, hanya segelintir murid saja yang bisa dekat secara personal dengan seorang guru.

Kompetisi di tiap jenjang pendidikan juga sedikit sekali berbeda. Murid berlomba-lomba untuk jadi peringkat satu di kelas. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang paling hebat dan pastinya bisa menjadi buah pembicaraan orang tua dalam membanggakan anaknya pada tetangga. Mungkin alasan kedua juga menjadi pendorong mengapa universitas negeri menjadi primadona bagi mantan siswa siswi SMA. Selain prestis yang tinggi jika kita diterima di perguruan tinggi negeri, kita juga secara tidak langsung sudah menunjukkan kalau kita bisa mendapatkan apa yang dibanggakan oleh orang banyak. Apalagi bisa diterima di jurusan yang punya tingkat "kehormatan" selangit. Sehingga tak jarang banyak yang mau mempertaruhkan apapun buat bisa diterima, termasuk menggunakan jalan yang justru bisa menurunkan derajat kehormatan itu.

Sistem pembelajaran di Indonesia yang dengan banyaknya bidang studi pun juga menjadi warna tersendiri buat para muridnya. Dari sekolah dasar bahkan hingga SMA, yang walaupun sudah ada 'penjurusannya', masih saja membebani muridnya dengan mata pelajaran pelengkap hingga belasan mata pelajaran yang di akhir pendidikan harus diujikan juga. Dan tak jarang mendidik kita buat "harus" bisa pintar di segala bidang, dengan dalih semua ilmu penting buat dipelajari.

Saya pikir, setelah masuk kuliah, stigma "cerdas di semua belasan mata pelajaran segudang" yang selama 12 tahun saya temui di pendidikan dasar dan menengah, tidak akan ditemui lagi di pendidikan tinggi. Tapi ternyata jangan berharap lebih terhadap sistem. Setiap dosen yang mengajarkan matakuliahnya selalu mengunggulkan bahan ajarnya kepada mahasiswa bahwa, "kalau kalian tidak menguasai ilmu ini, kalian tidak bisa menjadi penyembuh yang sempurna".

Memang tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Apalagi jika didukung dengan jurusan bertipe profesi yang langsung berhubungan dengan nyawa seperti yang saya ambil saat ini. Namun sepertinya saya kurang dapat memahami mengenai kata-kata itu. Atau mungkin karena faktor saya nya yang tidak bisa mengikuti alur pendidikan profesi yang outputnya mencetak lulusannya dalam kompetensi umum?

Mungkin ini cuma rasa lelah individu dari seorang mahasiswa yang harus menjadi expert dalam tiap kompetensi profesinya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Dan pasti banyak yang mencibir setelah membaca tulisan ini, "kalau tidak bisa mengikuti sistem ya keluar saja".

Saya hanya berpikir, bagaimana bisa seorang mahasiswa dengan kosong pengalaman dapat dicetak menjadi seorang ahli di 16 bidang hanya dalam kurun waktu 5.5 tahun? Ditambah lagi kemampuan teori lebih dominan terhadap praktik. Ini sudah terjadi sejak kita semua berada di SD, SMP, dan di SMA. Kenapa seorang murid SMA program IPA harus dipaksa memahami sejarah padahal sebenarnya dia punya ketertarikan lain di bidang sosiologi? Namun kalau dia ingin belajar sosiologi, pastinya dia harus mengambil program IPS karena sosiologi itu "kompetensi" nya program IPS. Dengan "sistem paket mata pelajaran" yang membatasi minat itulah yang membuat mahasiswa atau murid menjadi sangat terbatas dan kaku dalam menggali apa yang dia minati untuk dijadikan landasan dan motivasinya mengapa ia belajar sesuatu. Belajar karena senang dengan belajar karena terpaksa pasti akan sangat terlihat pada proses dan hasilnya. Bagai analoginya, "mengapa seorang penari harus mampu melatih indra perasanya kalau sebenarnya gerakan tubuh yang luwes lah yang harusnya ia kuasai dengan penuh semangat oleh seorang calon penari profesional".

Walaupun memang pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi, seperti master dan doktor atau program spesialis, nantinya akan lebih dispesifikasikan. Tapi, kenapa harus menunggu hingga master atau doktor? Apa karena alasan pada usia itu manusia bisa lebih matang sehingga lebih siap untuk menjadi ahli? Kalau iya, lalu kenapa pada saat jenjang pendidikan yang lebih rendah dari master atau doktoral, mahasiswa harus tampil sempurna dalam ujian di tiap bidang padahal kemampuannya pun sebenarnya belum mumpuni untuk menguasai satu bidang saja? Dan terkadang di saat ujian, mahasiswa seperti sedang mengadu ilmu dengan dosennya padahal sudah dipastikan ilmu Sang dosen lebih tinggi levelnya ketimbang mahasiswa yang mendapatkan kesempatan belajar di bidang dosennya itu pun sedikit karena harus berlomba dengan mata kuliah lain yang juga menganggap masing-masing dirinya penting dalam proses pendidikan.

Menurut pendapat saya pribadi, sudah barang tentu pemahaman mahasiswa jauh dari kata sempurna. Tak jarang salah dalam memahami suatu teori. Lalu ketika saat ujian mahasiswa tersebut salah, bagaimana? Apakah ada yang membenarkan letak kesalahannya? Bukankah itu adalah salah satu tugas seorang pengajar buat meluruskan pemahaman mahasiswa nya yang salah (ini di luar faktor mahasiswa itu memang malas belajar)? Tapi yang dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa, nilai jelek atau ujian ulang lah yang pastinya akan diperoleh kalau kita tidak bisa perfect dalam menjawab pertanyaan. Padahal dosen tidak mengetahui bagaimana usaha maksimal dari mahasiswa itu untuk lulus dari kelasnya sesaat sebelum ujian dimulai.

Hal-hal semacam itu lah yang menurut saya mengapa pendidikan dan kualitas lulusan pada setiap bidang ilmu di Indonesia masih harus dievaluasi. Masih sedikit juga lulusan yang belum mencintai apa yang ia pelajari. Tanggung jawab seorang pengajar terhadap yang diajar memanglah berat. Proses belajar mengajar adalah proses transfer ilmu yang mana jika tidak benar, maka ilmu yang ditransfer tidak akan bisa terserap dengan sempurna. Tapi tanggung jawab itulah yang nantinya akan berperan dan memutuskan secara tidak langsung bagaimana seorang "pelurus" bukan "penerus" dicetak agar ilmu yang sudah ada dan berkembang di Indonesia tidak hilang dan dapat diteruskan ke generasi selanjutnya.

Saya jadi ingat kalimat dari tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, yang berhubungan dengan bagaimana seorang pengajar harusnya bersikap terhadap orang yang diajarnya, dimana filsafat itu saya rasa saat ini sudah mulai dilupakan oleh para pengajar. Kalimat itu berbunyi:

Ing Ngarso Sung Tulodo: Di depan memberi teladan

Ing Madyo Mbangun Karso: Di tengah memberi semangat

Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dorongan.

Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sung TulodoIng Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani memiliki arti: figur pengajar yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang yang ia didik dapat merasakan situasi yang baik, semangat, dan bersahabat. Sehingga makna "mendidik" dan "mengajar" benar-benar dapat tersampaikan dengan baik. Dengan begitu, harapannya dunia pendidikan di Indonesia mampu mencetak para ahli yang bukan hanya pintar, tapi senang, kreatif, dan tertarik dengan bidang pekerjaannya kelak untuk memanfaatkan potensi besar bangsa ini.

Semoga nanti, jika saya punya kesempatan menggapai cita-cita saya menjadi seorang pengajar, saya akan berusaha untuk tetap teguh terhadap filosofi "guru" yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

No comments: