MAKALAH
PENGHAYATAN
PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
Tentang
Peranan
Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta Jakarta dalam Menjaga Stabilitas
Kondisi Kesehatan Ikan di Indonesia
Disusun
oleh:
1. Selma Anggita (B04110031)
2. Rifky Rizkiantino (B04110032)
3. Alamsah Firdaus (B04110033)
4. Gina Meilisa Sitorus (B04110034)
5. Rahajeng Harnastiti (B04110035)
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PENDAHULUAN
Definisi hewan menurut Undang-Undang
No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah binatang atau
satwa yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau
udara, baik yang dipelihara atau yang di habitatnya. Salah satu satwa yang
dimaksud dalam definisi tentang hewan di atas adalah binatang yang seluruh atau
sebagian siklus hidupnya berada di air. Hewan-hewan tersebut dapat berupa jenis
Crustaceae, Mollusca, Echinodermata, dan seluruh jenis ikan serta beberapa
jenis mamalia air. Hewan aquatik ini juga memiliki fungsi dalam kehidupan manusia, baik sebagai
bahan pangan manusia, sarana pendidikan, dan juga beberapa jenis di antaranya
dapat menjadi hospes perantara zoonosis yang dapat mengganggu serta menurunkan
derajat kesehatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semakin bersifat globalnya interaksi manusia sekarang ini
menjadikan lalu lintas peredaran ikan dan satwa aquatik lainnya antarwilayah
negara di dunia, baik yang bersifat alami maupun sebagai akibat dari kegiatan manusia
seperti kegiatan eskpor impor, semakin terbuka. Dengan begitu, jalur persebaran
penyakit pada ikan dan satwa aquatik lainnya yang berpeluang merugikan manusia
dan hewan itu sendiri juga dapat semakin mudah untuk meluas penyebarannya. Maka
dari itu, perlu adanya suatu lembaga pemerintah yang khusus menangani hal
tersebut di dalam wilayah suatu negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri memiliki Balai
Besar Karantina Ikan serta Balai dan Stasiun Karantina Ikan di wilayah
kedaulatannnya sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dalam menjaga
stabilitas kesehatan ikan dan satwa aquatik lain yang berada di wilayahnya. Jumlah
dari Balai Besar Karantina Ikan yang ada sebanyak dua buah yang berlokasi
Jakarta dan Makassar, sedangkan Balai dan Stasiun Karantina berjumlah 43 lokasi
yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti: Sentani, Medan, dan
Tanjung Priok. Dalam hal ini, penulis akan mencoba membahas mengenai salah satu
Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta yang berlokasi di Ibukota Jakarta. Dengan
berbagai laboratorium dan fasilitas yang dimiliki oleh badan pemerintah ini,
menjadikannya dapat diandalkan dalam menjaga ketahanan terhadap kesehatan ikan
di Indonesia. Namun dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini mendasarkan pengertian
ikan sendiri sebagai semua biota laut perairan yang sebagian atau seluruh daur
hidupnya berada di dalam air dalam keadaan hidup atau mati termasuk
bagian-bagiannya (definisi ini terdapat dalam brosur pelayanan Balai Besar
Karantina Ikan Soekarno-Hatta). Sehingga kategorinya dapat diperluas, menjadi:
ikan bersirip (Pisces); udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya (Crustacea);
kerang, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya (Mollusca); ubur-ubur dan
sebangsanya (Coelenterata); teripang, bulu babi, dan sebangsanya
(Echinodermata); kodok dan sebangsanya (Amphibia); buaya, penyu, kura-kura,
biawak, ular air, dan sebangsanya (Reptilia); paus, lumba-lumba, pesut, duyung,
dan sebangsanya (Mamalia); rumput laut dan tumbuhan air lain yang hidupnya di
dalam air (Algae); dan biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan
jenis-jenis tersebut diatas, termasuk ikan yang dilindungi. Hal ini menjadikan
objek yang dikaji dan dikontrol keberadaannya oleh Balai Besar Karantina Ikan
milik Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia ini semakin bertambah dan
tidak hanya sebatas ikan yang didefinisikan sebagai satwa saja.
Salah satu fasilitas yang terdapat pada Balai Besar
Karantina Ikan Soekarno-Hatta adalah laboratorium penguji yang telah
terakreditasi sejak tanggal 24 September 2004 yang mengacu kepada ISO/IEC 17025-2005
dan telah tereakreditasi kembali pada tahun 2008. Dengan standar laboratorium
penelitian kelas III dunia, membuat laboratorium penguji ini mengembangkan
teknik penelitian yang tidak hanya sekedar secara konvensional namun juga sudah
mengaplikasikan bioteknologi yang telah banyak dipakai oleh
laboratorium-laboratorium penelitian di seluruh dunia. Contoh dari bioteknologi
yang dipakai adalah metode PCR atau Polymerase
Chain Reaction dalam mengidentifikasi bahan genetik, DNA atau RNA, dari
sebuah bakteri dan/atau virus. Kolmodin dan Birch (2002) berpendapat
bahwa PCR merupakan salah
satu prosedur dalam mempelajari DNA di mana dilakukan perbanyakan DNA dengan
menggunakan suatu mekanisme di luar sel. PCR menggunakan sistem amplifikasi DNA dengan primer
mediated enzyme pada suatu klon DNA tertentu atau sekuen DNA genom. Viljoen et al. (2005) menemukan
bahwa PCR dipublikasikan
pertama kali pada 1985 oleh Kary Mullis.
BAB I
PROFIL BALAI BESAR KARANTINA IKAN SOEKARNO-HATTA
PROFIL BALAI BESAR KARANTINA IKAN SOEKARNO-HATTA
1.1 Visi, Misi, dan Kegiatan Operasional dari
Balai Besar Karantina Ikan
Soekarno-Hatta
Visi dari Balai Besar
Karantina Ikan Soekarno-Hatta adalah mewujudkan karantina ikan yang modern,
tangguh, profesional, dan terpercaya. Dalam visi mengandung beberapa makna
sebagai berikut: Modern, mengandung
makna bahwa dalam penyelenggaraan karantina ikan selalu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terkini; Tangguh,
mengandung makna bahwa karantina ikan mampu berperan sebagai filter yang
efektif terhadap penyebaran hama dan penyakit ikan karantina yang berbahaya,
sehingga mampu melindungi dan menjaga kelestarian sumber daya hayati perikanan;
Profesional, mengandung makna dalam
penyelenggaraan karantina ikan didukung oleh personil yang mempunyai
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang baik dengan menggunakan sarana dan
prasarana yang memadai sehingga mampu memberikan pelayanan jasa karantina ikan
secara prima; dan Terpercaya,
mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan karantina ikan menggunakan
metode-metode standar internasional sehingga mampu memberikan jaminan kualitas
melalui pemberian sertifikat kesehatan ikan.
Sedangkan misi dari Balai Besar
Karantina Ikan Soekarno-Hatta meliputi:
1. Melindungi dan menyelamatkan kelestarian
sumber daya hayati ikan dari hama dan penyakit ikan karantina,
2. Pengembangan teknik dan metode
karantina ikan,
3. Pengembangan sistem infomasi karantina
ikan,
4. Penegakkan supremasi hukum bidang
karantina ikan, dan
5. Pengembangan sistem administrasi perkantoran.
Kegiatan operasional yang
dijalankan oleh Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta meliputi kegiatan tindakan
karantina ekspor impor dan antararea domestik masuk dan domestik keluar.
1.2 Tugas Pokok dan Tugas Tambahan Balai Besar
Karantina Ikan Soekarno-Hatta
Lembaga
pemerintah ini memiliki tugas pokok, yaitu melaksanakan pencegahan masuk dan
tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) dari luar negeri dan dari
suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain
memiliki tugas pokok, Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta juga memiliki
tiga tugas tambahan yang setiap tugasnya didasarkan pada dasar hukum yang
berbeda, yaitu:
1.
Mengawasi
dan mengontrol jenis ikan yang tidak boleh diimpor ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.PER.17/MEN/2009
tentang Jenis Ikan yang Dilarang Impor. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain
terdapat dalam tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel
1.1 Daftar jenis ikan yang dilarang impor
No.
|
Jenis Ikan
|
No.
|
Jenis Ikan
|
1.
|
Colomesus psittacus
(Bended Puffer)
|
16.
|
Pygocentrus cariba (Black Spot Piranha)
|
2.
|
Tetraodon duboisi
(Ocellated Puffer)
|
17.
|
Serrasalmus sanchezi
(Ruby-red Piranha/Ruby-red Throated Piranha)
|
3.
|
Tetraodon lineatus
(Nila Puffer/Globe Fish/Fahaka
Puffer)
|
18.
|
Serasalmus gibbus (Gibbus Piranha)
|
4.
|
Tetraodon mbu (Freshwater Puffer Fish)
|
19.
|
Serrasalmus rhombeus
(Red Eye Piranha)
|
5.
|
Tetraodon miurus (Staenlypool
Puffer)
|
20.
|
Serrasalmus spilopleura (Speckled Piranha)
|
6.
|
Branchioica
bertonii/Paravandellia oxyptera (Pantanal Parasitic Catfish)
|
21.
|
Serrasalmus
serrulatus (Serrated Piranha)
|
7.
|
Branchioica magdalenae/Paravandellia phaneronema (Pencil
Catfish)
|
22.
|
Pristobrycon striolatus
|
8.
|
Paracanthopoma parva
|
23.
|
Metynnis agrenteus
(Silver Dollar)
|
9.
|
Plectrochilus diabolicus
|
24.
|
Bramocharax bransfordii (Long Jaw Tetra)
|
10.
|
Plectrochilus
saguineus
|
25.
|
Esox americanus
(Redfin Pickerel)
|
11.
|
Vandellia balzanii
|
26.
|
Esox lucius (Northen Pike)
|
12.
|
Vandellia baccarii
|
27.
|
Esox masquinongy
(Meskellunge)
|
13.
|
Vandellia cirrhosa (Candiru)
|
28.
|
Electrophorus electricus (Electric Eel)
|
14.
|
Pygopristis
denticulata/Serrasalmus denticulatus
(Golden
Piranha/Big-toothed Piranha/Lobe-toothed Piranha)
|
29.
|
Plectrochilus
wieneri
|
15.
|
Pygocentrus nattereri (Red Piranha/Red Bellied Piranha)
|
30.
|
Plectrochilus machadoi
|
2. Mengawasi dan mengontrol jenis ikan
yang tidak boleh diekspor ke luar wilayah Indonesia berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 214/Kpts/Um/1973 tentang Jenis Ikan
yang Dilarang Ekspor. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain terdapat dalam
tabel 1.2 sebagai berikut:
Tabel
1.2 Daftar Jenis ikan yang dilarang
ekspor
No.
|
Jenis Ikan
|
1.
|
Benih Sidat (Anguilla sp.)
ukuran diameter 5 mm
|
2.
|
Nener/benih ikan
bandeng (Chanos chanos var.)
|
3.
|
Calon induk botia ukuran > 15 cm (Botia
macracanthus)
|
4.
|
Udang galah ukuran
< 8 cm (Macrobrachium rosenbergi)
|
3. Memberikan bantuan teknis ke Unit
Pelaksana Teknis Balai dan Stasiun Karantina Ikan berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 21/2008
1.3 Fungsi
Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta
Balai Besar Karantina Ikan
Soekarno-Hatta didirikan untuk mengemban beberapa fungsi, di antaranya:
1. Pelaksanaan tindakan karantina
terhadap media pembawa hama dan penyakit ikan,
2. Pembuatan koleksi hama dan penyakit
ikan serta media pembawa hama penyakit ikan dan hama penyakit ikan karantina,
3. Pengumpulan dan pengolahan data
tindakan karantina ikan,
4. Pemantauan daerah sebar hama dan
penyakit ikan karantina,
5. Pelaksanaan pengawasan dan penindakan
pelanggaran peraturan perundang-undangan perkarantinaan ikan,
6. Pengelolaan urusan keuangan, rumah
tangga, dan tata usaha, dan
7. Dapat memberikan dukungan teknis
kegiatan perkarantinaan kepada Balai dan/atau Stasiun Karantin Ikan.
1.4 Dasar Hukum Pelaksanaan Kegiatan Balai Besar
Karantina Ikan
Soekarno-Hatta
Dalam melaksanakan tugas pokok, tugas
tambahan, serta fungsinya, lembaga pemerintah ini memiliki dasar atau landasan
hukum yang menaungi setiap tindakan dan prosedurnya. Dasar hukum yang dimaksud,
seperti:
1.
Undang-Undang
No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan,
2.
Peraturan
Pemerintah no. 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan,
3.
Keputusan/Peraturan
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, dan
4.
SPS-WTO
dan ketentuan OIE (Office International
des Epizooties).
1.5 Stuktur
Organisasi dan Sumber Daya Manusia Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta
1.5.1 Struktur
Organisasi (Per Men
DKP No. 21/MEN/2008)
1.5.2
Sumber Daya Manusia
Balai Besar karantina Ikan
Soekarno-Hatta memiliki sumber daya manusia dengan jumlah 84 orang yang terdiri
dari berbagai latar belakang pendidikan dan tugas yang diemban oleh
masing-masing individu. Terdapat juga seorang dokter hewan yang memiliki
jabatan fungsional serta bertugas dalam laboratorium parasit dan sebagai
pengawas laboratorium lainnya. Dalam hal ini membuktikan bahwa seorang dokter
hewan juga berperan penting dalam hal menjaga kesehatan hewan apapun, termasuk
ikan dengan bekerja di dalam sebuah Balai Besar Karantina Ikan. Berikut merupakan rincian dari sumber daya
manusia yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta:
Tabel
1.3 Sumber Daya Manusia Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta
1.6 Laboratorium Penguji
Salah satu fasilitas yang dimiliki oleh
Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta adalah laboratorium penguji yang
terdiri dari beberapa bagian, di antaranya:
1. Bagian Parasit: melakukan prosedur
nekropsi, observasi patologi anatomi, pembuatan sediaan parasit, pengamatan
parasit secara mikroskopis, dan mengambil gambar parasit dengan teknologi
digital.
2. Bagian Cendawan: isolasi cendawan,
membiakkan cendawan pada media SDA, pewarnaan cendawan menggunakan laktopenol,
dan pengamatan cendawan secara mikroskopis.
3. Bagian Bakteri: pemurnian isolat
bakteri, pembiakkan koloni bakteri, uji biokimia secara konvensional, melakukan
reaksi kimia dari uji konvensional, dan pengambilan gambar bentuk bakteri (gram
negatif atau gram positif).
4. Bagian Histopatologi: Pengambilan
sampel yang difiksasi dengan NBF, melakukan proses jaringan dan pembuatan block
jaringan dengan alat, melakukan proses staining, mendapatkan slide yang telah
diwarnai, dan mengamati preparat jaringan histologi.
5. Bagian PCR: Melakukan ekstraksi DNA
atau RNA, amplifikasi, membuat gel elektroforesis, dan mendapatkan foto digital
dari hasil PCR.
BAB II
PELAYANAN DI BALAI BESAR
KARANTINA IKAN SOEKARNO-HATTA
Dalam merealisasikan tugas dan
fungsinya, lembaga pemerintah ini memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan
berbagai tindakan karantina sebagai upaya menjaga lalu lintas distribusi sumber
daya hayati ikan di wilayah Indonesia sebagai akibat dari kegiatan ekspor impor
yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain di dunia. Oleh karena itu,
dibutuhkan adanya suatu prosedur untuk mengatur hal tersebut agar sesuai dengan
dasar hukum yang berlaku di tiap-tiap negara pelaku ekspor impor sumber daya
hayati ikan. Biasanya terdapat beberapa hal yang berlaku dan disesuaikan dengan
aturan dan syarat yang diinginkan oleh masing-masing negara. Misalnya seperti
apa saja sumber daya hayati ikan yang dilarang untuk di ekspor dan/atau di
impor dari dan ke Indonesia. Ini dapat terlihat pada tabel 1.1 dan tabel 1.2
tentang daftar jenis ikan apa saja yang dilarang untuk diekspor dan/atau
diimpor berdasarkan konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Tindakan karantina yang dilakukan
oleh Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta dapat berupa tindakan
pemeriksaan terhadap ikan yang diduga merupakan media pembawa hama dan penyakit
ikan karantina (MP HPIK) serta pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kebenaran isi
dokumen karantina ikan dan persyaratan lainnya; pengasingan terhadap MP HPIK
yang positif terjangkit HPIK, baik HPIK golongan I maupun HPIK golongan II dan melakukan
pengamatan terhadapnya; memberikan perlakuan seperti perawatan intensif
terhadap MP HPIK yang terjangkit HPIK golongan II dikarantina; melakukan
penahanan terhadap MP HPIK yang tidak dapat memenuhi persyaratan lain dan/atau
jenis, jumlah, dan ukuran media pembawa yang tidak sesuai dengan ketetapan
konstitusional di Indonesia tentang ekspor impor sumber daya hayati ikan;
penolakan terhadap MP HPIK yang tidak dapat memenuhi persyaratan lain dalam
waktu tiga hari atau MP HPIK yang terjangkit HPIK golongan I; melakukan
pemusnahan terhadap MP HPIK yang terjangkit HPIK golongan I; serta membebaskan
MP HPIK yang terjangkit HPIK golongan II karena telah disembuhkan.
2.1 Prosedur Pemasukan dan Pengeluaran Media
Pembawa
2.1.1 Prosedur Pemasukan Media Pembawa
Waktu
pelaporan untuk setiap pemasukan media pembawa disesuaikan dengan cara
pemasukannya ke dalam suatu negara tujuan. Untuk barang bawaan dilaporkan pada
saat tiba di tempat pemasukan, sedangkan kiriman lewat pos paling lambat lima
hari setelah menerima pemberitahuan dari kantor pos. Untuk barang muatan waktu
pelaporannya adalah dua hari sebelum kedatangan, namun untuk barang muatan yang
merupakan produk perikanan adalah satu hari sebelum kedatangan sedangkan benda
lain pada saat tiba di tempat pemasukan.
2.1.2 Prosedur Pengeluaran Media Pembawa
Prosedur
pengeluaran media pembawa dapat dibedakan menjadi dua tahap. Tahap pertama
adalah pemeriksaan status kesehatan ikan secara periodik. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan pemeriksaan pengelolaan kesehatan ikan di farm, penampungan,
atau tempat budi daya; pemeriksaan klinis; serta pemeriksaan laboratoris yang
dapat dilakukan di laboratorium penguji milik Balai Besar Karantina Ikan
Soekarno-Hatta. Tahap kedua adalah waktu pelaporan media pembawa yang akan
dikeluarkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Republik Indonesia
(domestik keluar) dan ekspor. Untuk barang bawaan dapat dilaporkan paling
lambat sebelum keberangkatan. Bagi barang muatan, kiriman pos, dan benda lain
waktu pelaporannya adalah paling lambat satu hari sebelum dilakukan tindak
karantina.
2.2
Tindakan, Ketentuan Lain, dan Sanksi Pelanggaran
2.2.1 Tindakan Karantina Terhadap Penolakan Negara
Tujuan
Terdapat
tiga tindakan karantina dan satu syarat terhadap penolakan negara tujuan yang
dilakukan dan dibutuhkan oleh Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta, yaitu:
1.
Pemasukan
kembali media pembawa yang ditolak di luar negeri karena tidak memenuhi
persyaratan karantina yang ditetapkan oleh negara tujuan dikenakan tindakan
karantina sesuai ketentuan pemasukan.
2.
Harus
disertai keterangan penolakan dari negara tujuan.
3.
Setelah
dilakukan tindakan karantina maka terhadap media pembawa tersebut apabila
memenuhi persyaratan dapat dilakukan tindakan pelepasan.
4.
Pemasukan
kembali media pembawa yang tidak memenuhi persyaratan pada waktu pengeluaran
dimusnahkan di tempat pemasukan atau instalasi karantina.
2.2.2 Ketentuan Alat Angkut yang Merapat atau
Mendarat Darurat
1.
Penanggung jawab atau kuasanya harus segera melapor kepada petugas
karantina.
2. Dilarang membongkar atau menurunkan
media pembawa sebelum diperiksa atau diizinkan petugas karantina.
3.
Alat angkut tidak dapat meneruskan perjalanan terhadap media pembawa
berlaku ketentuan tentang pemasukan, apabila alat angkut tersebut dapat
meneruskan perjalanan dikenakan ketentuan transit.
2.2.3 Ketentuan Transit Media Pembawa
1. Transit hanya diperbolehkan di
tempat-tempat pemasukan atau pengeluaran yang telah ditetapkan.
2.
Penanggung jawab atau kuasanya melaporkan kedatangan alat angkut dan
media pembawa pada petugas karantina.
3.
Media pembawa dalam pengawasan petugas karantina.
4.
Dilengkapi sertifikat kesehatan dari area atau negara asal.
5.
Apabila negara atau area tujuan menyaratkan sertifikat kesehatan maka
petugas karantina di tempat transit wajib melakukan tindakan karantina.
6.
Bagi alat angkut yang melakukan transit di negara atau area yang sedang
wabah dikenakan tindakan karantina.
7.
Transit media pembawa yang berasal dari negara atau area yang sedang
terjadi wabah hanya berlaku transit alat angkut.
8. Ketentuan lebih lanjut mengenai
tindakan karantina dalam hal transit diatur surat keputusan menteri.
2.2.4 Sanksi Pelanggaran
2.2.4.1 Terhadap Media Pembawa
1.
Ditahan bila tidak dilengkapi sertifikat kesehatan ikan dari daerah asal
dokumen tambahan.
2.
Ditolak bila jenis dan jumlah tidak sesuai dengan isi dokumen; tiga hari
setelah penahanan dokumen persyaratan tidak dapat dipenuhi.
3. Dimusnahkan bila media pembawa busuk atau
rusak atau tidak bertuan; terinfeksi HPIK golongan I; dan tiga hari setelah
penolakan ikan tidak dikirim ke areal asal.
2.2.4.2 Terhadap Pelaku
Berdasarkan ketentuan pidana Ps.
31 UU No. 16 Tahun 1992
1.
Kelalaian:
Pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
karena kelalaiannya melanggar pasal 5, 6, 7, 9, 21, dan 25.
2.
Pelanggaran:
Pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,-
karena dengan sengaja melanggar pasal 5, 6, 7, 9, 21, dan 25.
2.3 Contoh Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK)
Berdasarkan ketentuan yang ada,
salah satu jenis hama dan penyakit ikan karantina yang keberadaan tidak boleh
ada pada sumber daya hayati ikan yang diekspor atau diimpor dari dan ke
Indonesia adalah Koi Herpes Virus
(KHV). KHV adalah infeksi virus herpes yang menular akut pada ikan mas (Cyprinus carpio) dan varietas lain
seperti ikan mas koi. Epizootic KHV telah menghancurkan budidaya ikan mas dan
koi di Indonesia karena menyebabkan kematian hingga
100% dalam masa satu minggu setelah munculnya gejala-gejala klinis. Masa
inkubasi penyakit yaitu 3-7 hari. Gejala-gejala klinis ditandai dengan
insang pucat dan berlangsung pada kerusakan insang, kulit mengalami
kerusakan, hemoragik berat pada insang dan disertai nekrosis, hemoragik
pada permukaan tubuh, kadang kala sirip dan ekor pun mengalami hemoragik, kulit
luka melepuh seperti terkena api. Pemeriksaan lebih lanjut mengenai ikan yang
sakit atau mati akibat KHV menunjukkan tanda-tanda patologis seperti: insang
mengalami nekrosis, degenerasi epitel lamella insang, nekrosis fokal, dan pengelupasan sisik, Permana (2010).
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap seluruh kegiatan yang ada di Balai Besar Karantina Ikan
Soekarno-Hatta dapat disimpulkan bahwa lembaga pemerintah ini sangat penting
keberadaannya sebagai aparat pengendali hama serta berbagai penyakit ikan yang
dapat merugikan bagi berbagai pihak. Dengan adanya balai besar seperti ini
dapat dijadikan sebagai filter utama bagi hama dan penyakit yang akan datang
dan masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai pelayanan
berupa tindakan karantina merupakan wujud nyata terhadap tugas dan fungsi dari
lembaga pemerintah ini. Masyarakat atau pelaku ekspor impor dalam arti luas pun
dapat merasa nyaman karena komoditinya dapat dilindungi dari berbagai hama dan
penyakit yang dapat merugikan usahanya.
Dengan
didukung oleh berbagai perlengkapan dan standar mutu berkelas internasional,
seperti adanya laboratorium penguji yang telah terakreditasi berdasarkan
ISO/IEC 17025-2005 membuat kegiatan yang dilakukan di dalam laboratorium ini
tentunya berdasarkan standar yang
sifatnya mengglobal. Implikasi lain dari adanya akreditasi mutu internasional
tersebut adalah digunakannya teknologi penelitian berbasis bioteknologi modern,
seperti teknik PCR atau Polymerase Chain
Reaction yang digunakan dalam mengindetifikasi bahan genetik yang berasal
dari virus maupun bakteri.
Adanya
Balai Besar karantina Ikan Soekarno-Hatta ini juga memberikan andil besar dalam
menjaga kedaulatan pangan Indonesia karena dengan melakukan pengawasan yang
ketat terhadap sumber daya ikan yang masuk atau keluar Indonesia membuat
kualitas dari pangan asal ikan dapat terjaga mutunya dengan baik dan sesuai
dengan standar kesehatan yang ada.
Pembawaan biota air yang ilegal juga dapat ditangani oleh lembaga
pemerintah ini, sehingga secara tidak langsung memberikan andil terhadap
kelestarian satwa aquatik yang berada di dalam perairan dunia. Pemberian sanksi
yang tegas dan sesuai dengan konstitusi mengenai perikanan dan kelautan serta
ekspor impor barang di Indonesia adalah bukti ketegasan dan keseriusan
pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kolmodin LA, Birch DE. 2002.
Polymerase Chain Reaction: Basic Principles and
Routine Practice. Di dalam Chen BY, Janes HW,
editor. PCR Cloning
Protocol. Edisi ke-2. Totowa: Humana. Hal 3-18.
scribd.com/doc/46320833/Koi-Herpes-Virus [18 Januari 2012]
Viljoen GJ, Nel LH, Crowther JR.
2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook.
Dordrecht: Springer.
|
No comments:
Post a Comment