Entahlah, aku bingung dengan keadaanku saat
ini.
Aku seperti setan berwujud manusia yang tak tahu
arti apa itu rasa bersyukur. Diberikan sesuatu yang melebihi orang lain justru
adalah suatu nikmat yang harusnya dibalas dengan rasa syukur. Tapi, kehidupan
dan orang-orang disekitar justru seolah-olah sepakat membuat keyakinan akan
keikhlasan ini luntur. Di sekelilingku selalu mencoba untuk memaksaku menjadi
manusia yang sempurna dan kalau tidak sempurna kau tidak akan mampu
diperhitungkan keberadaannya di sekitar mereka.
Selama aku menempuh jenjang pendidikan, selalu
saja ada “ritual pemeringkatan” di sebuah kelas. Ketika kita berhasil menjadi
yang terbaik di komunitas, riuh gaduh suara sanjungan datang dari segala arah.
Ntah itu dari orangtua, pengajar, atau bahkan yang membuat kepala dan jantung
ini semakin besar dan cepat degupannya adalah ketika sanjungan tersebut datang
dari seorang teman.
Namun ketika berada dibawah, hal sebaliknya lah yang terjadi. Rasa sanjung dengan cepat berubah menjadi “jaga jarak” yang datangnya dari orang-orang yang justru pada waktu kita berada di langit tertinggi memberikan standing applausenya kepada kita.
Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelangga lah yang terjadi saat itu.
Namun ketika berada dibawah, hal sebaliknya lah yang terjadi. Rasa sanjung dengan cepat berubah menjadi “jaga jarak” yang datangnya dari orang-orang yang justru pada waktu kita berada di langit tertinggi memberikan standing applausenya kepada kita.
Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelangga lah yang terjadi saat itu.
Ku kira, pendidikan profesi tidak menuntutku
untuk menjadi yang terbaik dan selalu menghasilkan “nilai” sempurna dalam segala
hal. Ternyata, hal tersebut saya dapatkan kembali di dunia kampus seperti
ini.
Otak ini sudah jenuh.
Otak ini sudah jenuh.
Rasanya saya ingin menyobek mulut orang-orang
yang terus menyatakan bahwa seseorang harus berorientasi pada proses dan jangan
hanya berorientasi pada hasilnya saja.
Kenapa? Karena di negara saya dan dunia pendidikan di sekitar saya itu tidak mendukung seperti itu.
Mereka hanya akan melihat orang yang paling bersinar dan secara tak langsung juga menyuruh saya untuk tidak usah bersusah payah memikirkan untuk berada pada tingkat 2, 3, 4, dan seterusnya. Karena hanya orang-orang yang berada pada tingkat 1 lah yang akan dikenang.
Kenapa? Karena di negara saya dan dunia pendidikan di sekitar saya itu tidak mendukung seperti itu.
Mereka hanya akan melihat orang yang paling bersinar dan secara tak langsung juga menyuruh saya untuk tidak usah bersusah payah memikirkan untuk berada pada tingkat 2, 3, 4, dan seterusnya. Karena hanya orang-orang yang berada pada tingkat 1 lah yang akan dikenang.
Saya jadi bertanya kembali, apakah kesempurnaan
itu mutlak dibutuhkan oleh seorang dokter hewan? Apa dokter hewan itu harus
selalu sempurna/memuaskan hasilnya dalam berbagai hal?
Lalu apa arti dari kata “menyembuhkan” bagi seorang dokter hewan dan belajar terus menerus sepanjang hayat tak kenal lelah?
Lalu apa arti dari kata “menyembuhkan” bagi seorang dokter hewan dan belajar terus menerus sepanjang hayat tak kenal lelah?
Apa seorang dokter hewan yang tidak sempurna
“hasilnya” tidak pantas untuk mendapat kesempatan menyembuhkan?
Entahlah…sampai saat ini aku masih mencari jati
diriku.
No comments:
Post a Comment