Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Friday, March 2, 2012

Entahlah…..??

Entahlah, aku bingung dengan keadaanku saat ini.

Aku seperti setan berwujud manusia yang tak tahu arti apa itu rasa bersyukur. Diberikan sesuatu yang melebihi orang lain justru adalah suatu nikmat yang harusnya dibalas dengan rasa syukur. Tapi, kehidupan dan orang-orang disekitar justru seolah-olah sepakat membuat keyakinan akan keikhlasan ini luntur. Di sekelilingku selalu mencoba untuk memaksaku menjadi manusia yang sempurna dan kalau tidak sempurna kau tidak akan mampu diperhitungkan keberadaannya di sekitar mereka.

Selama aku menempuh jenjang pendidikan, selalu saja ada “ritual pemeringkatan” di sebuah kelas. Ketika kita berhasil menjadi yang terbaik di komunitas, riuh gaduh suara sanjungan datang dari segala arah. Ntah itu dari orangtua, pengajar, atau bahkan yang membuat kepala dan jantung ini semakin besar dan cepat degupannya adalah ketika sanjungan tersebut datang dari seorang teman.
Namun ketika berada dibawah, hal sebaliknya lah yang terjadi. Rasa sanjung dengan cepat berubah menjadi “jaga jarak” yang datangnya dari orang-orang yang justru pada waktu kita berada di langit tertinggi memberikan standing applausenya kepada kita.
Ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelangga lah yang terjadi saat itu.

Ku kira, pendidikan profesi tidak menuntutku untuk menjadi yang terbaik dan selalu menghasilkan “nilai” sempurna dalam segala hal. Ternyata, hal tersebut saya dapatkan kembali di dunia kampus seperti ini.
Otak ini sudah jenuh.

Rasanya saya ingin menyobek mulut orang-orang yang terus menyatakan bahwa seseorang harus berorientasi pada proses dan jangan hanya berorientasi pada hasilnya saja.
Kenapa? Karena di negara saya dan dunia pendidikan di sekitar saya itu tidak mendukung seperti itu.
Mereka hanya akan melihat orang yang paling bersinar dan secara tak langsung juga menyuruh saya untuk tidak usah bersusah payah memikirkan untuk berada pada tingkat 2, 3, 4, dan seterusnya. Karena hanya orang-orang yang berada pada tingkat 1 lah yang akan dikenang.

Saya jadi bertanya kembali, apakah kesempurnaan itu mutlak dibutuhkan oleh seorang dokter hewan? Apa dokter hewan itu harus selalu sempurna/memuaskan hasilnya dalam berbagai hal?
Lalu apa arti dari kata “menyembuhkan” bagi seorang dokter hewan dan belajar terus menerus sepanjang hayat tak kenal lelah?

Apa seorang dokter hewan yang tidak sempurna “hasilnya” tidak pantas untuk mendapat kesempatan menyembuhkan?

Entahlah…sampai saat ini aku masih mencari jati diriku.

No comments: