Hoi teman, masih inget gak sih waktu kita bertiga dipertemukan di satu kelas yang
sama di sekolah menengah pertama? Saat di mana aku dan Lingga sebelumnya sudah
mengenal satu sama lain di tahun pertama. Lalu kita ternyata semakin mendekat
dan menjadi akrab. Dan yang tidak aku sangka kalau Irma adalah teman masa
kecilku dan teman dari sahabat ayahku juga. Kita bertiga punya banyak kesamaan,
mulai dari sama-sama memiliki ketertarikan dengan segala hal yang berbau
Jepang, mulai dari anime, lagu, bahkan kita sama-sama belajar bahasanya. Irma
saat itu sebagai trendsetter aku dan
Lingga buat belajar bahasa Jepang. Aku masih inget banget waktu itu, kita
belajar dengan kamus yang Irma beli di toko buku dekat rumah kalian. Dekat dengan sekolah kita juga.
Hujan-hujanan bertiga di mana aku
dan Lingga berjalan kaki dan memaksa Irma yang menggunakan sepeda untuk
sama-sama berjalan bersama kita. Saat itu sepedaku sedang rusak, jadi gak bisa
menggunakan sepeda seperti biasanya. Tapi aku gak pernah ngerasa kesepian jalan
sendiri. Tertawa lepas berjalan melewati lapangan belakang sekolah sambil
mengobrol apapun (termasuk pak Wasis...yang terdengar seperti "Oasis" :D) adalah saat yang aku tunggu terus usai bel pulang sekolah
berdering, Senin sampai Jumat. Hujan saat itupun akhirnya membuat kami berdua
berteduh di rumah Irma sejenak. Padahal saat itu aku sedang terburu-buru karena
ingin menjemput adik yang bersekolah. “Semoga gak keberatan adikku menunggu
agak lama.”, pikirku.
Aku masih ingat waktu kita selalu
tertawa terbahak-bahak saat membicarakan episode Spongebob dan Patrick saat ada
kesempatan berkumpul di rumah Irma yang mungkin menurut orang lain tidak
mengerti humornya di mana. Itulah kita, menyukai humor yang sama dan suatu hal
yang dapat membuat kita sama-sama tertawa lepas. Aku juga masih sangat ingat
waktu kita pergi berpetualang mencari Kedutaan Besar Jepang untuk ikut seleksi
berkas beasiswa di sana dan hanya Irma yang diizinkan masuk oleh satpam
penunggu gedung tersebut. Waktu itu hari jumat bukan? Kita bertiga itu polos,
dan aku justru sangat nyaman dengan kepolosan kita dalam berteman. Aku tidak
pernah menutupi sifat burukku dan lepas serta percaya sepenuhnya pada kalian. Saling
asah, saling asuh, saling asih.
Sumpit stainless steel yang Lingga
kasih serta kamus saku Biologi dan gantungan “smile” yang Irma kasih ke aku jadi
barang yang aku simpan sampai sekarang. Sumpit yang kita beli sama-sama waktu
kalian mengantarkan aku ke kampus dan Lingga kemudian memberikannya sepasang
untukku dan sepasang untuk Irma di bis saat pulang. Saat itu aku juga ingat kalau untuk pertama kalinya aku membeli pakan kucing dalam kemasan untuk kucingku. Kamus saku Biologi dan
gantungan kunci yang Irma kasih saat aku mau balik ke Bogor dan Irma dengan
lugunya menelponku untuk menanyakan sudah dimana dan menyuruhku untuk menunggu
sebentar di pom bensin pagi-pagi buta padahal bintangpun masih tampak. Saat itu
aku gak tau harus ngomong apa. Kalian tahu, semua benda yang kalian kasih ke
aku, hingga detik inipun ketika aku melihat atau memakainya, aku selalu ingin
mengulang saat kalian memberikannya padaku. Biar saat itu kita bertemu dan
mengulang momen itu. Kalian tahu? Saat ini aku rindu dengan kalian. Rindu saat
dimana kita tertawa bersama, menjatuhkan air mata bersama tanpa menghiraukan
bisikan tetangga rumahku yang keberatan kalau kita berisik di malam hari.
Aku selalu menceritakan ulah dan
bahan tertawa kita dengan kakakku di rumah yang juga sudah mengenal kalian
berdua dan dia juga selalu berhasil dibuat tertawa dengan ceritaku itu. Orangtuaku
pun sudah mengenal kalian. Keluarga kita pun masing-masing sudah mengetahui
kalau kita berteman dekat. Saat dimana aku merasa menyesal, waktu aku memaksa
kalian menemani ulangtahunku di tanggal 22 Mei 4 tahun lalu. Padahal saat itu
ada seseorang di antara kita bertiga sedang merasakan kesedihan yang mendalam. Namun
ia tidak ingin membahasnya, apalagi membicarakannya. Baru ku tahu, keesokan harinya setelah kita jalan
bersama berita duka itu. Bukan dari mulutnya sendiri, tapi justru dari teman
yang tidak terlalu dekat dengannya. 23 Mei, maafkan aku Lingga. Andai saat itu
aku tahu kalau Lingga kondisinya seperti itu. Pasti akan aku ajak Irma berputar balik
arah ke rumah sakit. Maafkan keegoisanku saat itu. Aku mohon maaf. Lingga tahu?
Sampai saat ini pun aku masih merasa bersalah. Aku belajar dari sosok kalian
berdua arti dari persahabatan dan pengorbanan. Walau kita tidak sedarah, tapi
kita merasa satu.
Saat sekolah menengah atas pun,
kukira aku gak akan bisa punya orang terdekat. Tapi Setyo merubah pandanganku
terhadap sekolah di Jakarta. Aku ingat saat aku menangis pagi hari di depanmu
karena ponselku hilang di bus saat berangkat di hari itu. Kau juga yang
bercerita saat “ditodong” di mikrolet dan saat kau menceritakannya kau terlihat
shock. Setyo yang juga selalu mau membantu tugasku yang berhubungan dengan
komputer karena saat itu aku belum memiliki benda mewah itu. Setyo yang juga
selalu mentraktir nasi bakar kesukaan kita di kantin saat Setyo tahu aku sedang
tidak ada uang lebih di saku. Setyo yang selalu mau direpotkan oleh
kegelisahanku tentang tugas yang belum selesai. Kita yang selalu ada di
peringkat teratas di kelas serta saling menyusul dan berganti posisi setiap
tahunnya. Dan akhirnya, sahabatku di sekolah berhasil kupertemukan dengan
sahabatku di rumah, di Taman Satwa Ragunan. Kita saling mengenal dan akhirnya
juga menjadi cukup dekat. Mencari jalan keluar yang aku dan Setyo sendiri pun
tidak tahu pintu keluar nya di mana. Di tambah Setyo yang gak bisa mengisi
kartu studi onlinenya yang membuat kita semakin panik. Dan pada akhirnya
petualangan itupun diakhiri dengan diteleponnya kalian oleh ibuku yang merasa
khawatir karena aku belum sampai rumah juga. Hahaha....merasa malu diriku.
Kalian masih ingat semuanya? Jujur kawan,
saat ini aku sedang butuh kalian. Aku rindu saat bisa bercerita dengan kalian
tanpa harus mengenal waktu. Kita selalu bisa meluangkan waktu untuk bersama
walau hanya sekedar saling mengirim pesan “Mico”, dan pasti jawabannya “Polo”. Mungkin
sekarang ini kita sudah beranjak menjadi dewasa dan sudah memiliki kesibukan
kita masing-masing. Memang aku harus sadar, kalau hidup itu berputar dan tidak
menutup kemungkinan kalian juga memiliki teman dekat di tempat kalian sekarang
ini. Akupun demikian.
Aku ingin bercerita, di sini pun aku
menemukan teman yang juga sama baiknya dengan kalian bertiga. Dia banyak
mengajarkanku juga soal hidup. Dia lebih dewasa dari aku, jadi pemikirannya pun
juga lebih maju. Dia banyak menolongku di kampus. Dia yang membantuku saat
bertemu dengan editor buku pertamaku. Dia yang juga rela panas-panasan denganku saat ke
daerah Ciganjur. Dan dia yang juga rela menemaniku saat aku ingin mensurvey
buku pertamaku di toko buku kota tempat kampusku berada. Stasiun Tanjung Barat
dan Depok Baru, dua stasiun yang pastinya akan selalu aku ingat sampai
kapanpun. Dan itu juga terjadi di hari Jumat. Tapi mungkin yang membedakannya
dengan kalian, kita sangat jarang tertawa lepas dan sulit untuk memiliki waktu
luang mengobrol dan jalan bersama melepas penat layaknya kita bertiga dulu. Tapi
aku tidak keberatan soal itu. Aku akan coba mengerti tentangnya, seperti kalian
mengerti sifatku dulu. Karena dengan dia pun aku belajar bagaimana menjadi
kalian saat berkorban untukku. Aku belajar bagaimana menjadi kalian saat peduli
denganku, belajar bagaimana menjadi kalian saat meluangkan waktu kalian
untukku, dan belajar bagaimana menjadi kalian saat kalian selalu berhasil mengingatkanku
pada Allah. Dengan adanya kalian, aku tidak sempat berpikir untuk merasakan bagaimana memiliki seorang kekasih layaknya anak muda seumuran kita sekarang ini. Kenapa? Karena keluargaku dan kalian sudah cukup memberikan kepedulian dan rasa sayang yang melebihi seorang kekasih.
Terimakasih.
Terima kasih Ya Rabb. Terimakasih juga karena kalian sudah mengajarkanku cara berteman dengan penuh
ketulusan, kepolosan, dan pengorbanan dan akan aku coba menerapkannya di sini untuk sahabatku itu.
Sekali lagi, terimakasih Lingga, Terima kasih Irma, dan Terima kasih Setyo.
Salam rindu,
Rifky
No comments:
Post a Comment