Cursor

SpongeBob SquarePants Mr. Krabs

Monday, October 19, 2015

HUJAN KELABU

“Jika waktu mampu kuraih. Akan kuputar ulang layaknya lagu yang terlantun sedari tadi dalam playlist ponselku ini. Agar kutahu semua dapat berubah menjadi indah. Bukan menjadi air mata dan kesenduan. Hingga anak cucu kita dapat meneruskan mimpi yang selama ini kita lukiskan dalam kotak kayu kehidupan yang kita bangun bersama.”

Aspal yang lima menit lalu masih berwarna kelabu dan penuh debu, sekarang berubah menjadi sedikit hitam dan basah. Dihiasi air yang berkumpul bersama membentuk genangan yang dapat menyejukkan jemari insan yang tak sengaja membuyarkannya. Tak terasa aku pun sudah 2 jam duduk sendiri pada sudut cafe ini. Melihat perubahan langit senja menjadi hitam dan mendung. Melihat tetesan air langit yang saling berkejaran, berlomba menyentuh aspal kelabu di bawahnya. Membawa efek bianglala dan kesejukan bagi Sang aspal dan manusia yang sendu. Sesekali menyeruput cangkir kelima cappucino hangat yang baru lima menit tadi kupesan. Menikmati roti bakar coklat sambil memandangi anak-anak kecil dari jendela cafe saling berebut menjajakan payung pada siapapun yang lewat.
Waktu yang dulu pernah kulewati bersamanya. Di sudut cafe yang sama. Pada momen yang sama. Masih sangat kuingat suara berat khas pria yang ia punya saat memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya yang sangat jarang berubah apabila kita menghabiskan waktu makan malam berdua di cafe ini. Aktivitas yang ia lakukan saat menunggu pesanan hingga datang pun selalu membuatku tak terasa jemu. Bermain mencari plat nomor kendaraan yang lewat. Ya, memang terlihat seperti anak kecil. Namun itu justru membuatku semakin mengenalnya. Saat di mana aku selalu kalah olehnya, tapi ia selalu tak ingin aku terlihat kalah dan akhirnya ia selalu mengalah agar aku selalu memenangi permainan kami itu. Hingga tak terasa jus melon dan muffin dengan taburan kismis pesanannya serta cappucino hangat dan roti bakar coklat pesananku tiba di atas meja kayu itu.
Memang benar apa kata orang, hujan merupakan kondisi yang dapat membawa kenangan dan angan masa lalu muncul kembali bersama dengan air yang menetes dari langit. Hujan di malam ini pun berhasil dengan suksesnya mengingatkanku akan semuanya.

***

 Pagi di hari minggu ini ku isi dengan jadwal jaga di IGD rumah sakit tempatku menimba ilmu. Aku merupakan mahasiswi kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani kepaniteraan klinik pada bagian bedah dan saat ini merupakan jadwalku untuk berada di IGD. Menjadi seorang mahasiswi kedokteran di bagian ini bagaikan kumpulan mimpi buruk yang bersatu membentuk kenyataan. Setiap saat, setiap sekian jam sekali aku harus dihadapkan dengan kasus kegawatdaruratan di mana anak kecil, bapak-bapak, preman, atau pria manula silih berganti masuk dengan berbagai macam luka gawat serius yang harus kami tangani. Seakan darah merah itu sudah tak mampu membuatku bergidik seram. Hanya ada ruang hampa dalam otak yang terus berpikir bagaimana caranya menangani tiap kasus yang ada.
Jam istirahat makan siang yang tidak seberapa pun kumanfaatkan hanya untuk sekedar merebahkan badan di bangku taman rumah sakit dekat dengan ruang IGD. Sesekali menyeruput teh kemasan yang kubeli di kantin tadi. Hingga dering telepon dari ponsel ku cukup mengagetkan dan membuatku terjatuh ke permadani rumput hijau di bawahnya. Nama yang tak asing dalam memori muncul di layar ponselku. Nama seseorang yang memang membuatku lelah belakangan ini. Lelah dengan semua drama dan konflik batin yang ada antara aku dan dia. Nama dari seorang pria yang sudah 5 tahun ini mengisi ruang dalam hati ini. Namun tiap kali kuingat kebohongan yang ia gunakan untuk menutupi kesalahannya di masa lalu itu membuatku sedikit enggan untuk menjawabnya.
“Halo, Nin. Nina? Aku cuma mau minta maaf sama kamu soal kondisi yang membuatmu salah paham 3 minggu yang lalu. Aku mau jelasin semuanya. Sore ini kamu ada waktu?” suara seorang pria di seberang sana yang sangat kuhafal. Lagi, untuk kedua kalinya aku enggan untuk menggubris apa yang pria itu katakan beberapa detik yang lalu.
“Halo, Nin? Kamu denger aku kan? Sore ini kamu pulang jaga jam berapa? Aku jemput kamu di rumah sakit ya. Sekalian kita makan malam di cafe biasa. Gimana?”
“Sa, kita lebih baik ga usah berhubungan lagi. Biarkan sifat ingin tahumu terhadap wanita lain kamu teruskan saja. Tapi maaf, aku ga bisa menunggu dan mendengar bualan klasikmu itu untuk menjelaskan kondisi yang sudah terlanjur aku patri dalam ingatanku. Aku rasa, gestur wanita yang bersamamu kemarin itu sudah menjelaskan semuanya. Aku seorang wanita dan aku tahu bagaimana seorang wanita yang sedang jatuh cinta. Tatapan dan rangkulan wanita itu adalah dua hal sama yang aku lakukan padamu”, entah kenapa bibir ini seakan tak terkontrol menumpahkan semua isi otak yang selama ini mengganjal dan hanya dilampiaskan dengan menghindar darinya saja.
      “Nin, kamu rupanya belum paham. Aku ingin kita bicara. Aku sekarang ke tempatmu ya? Biar kutunggu sampai jam jagamu selesai. Ok?”, kata pria itu.
“Sekarang ini bukan tentang aku dan kamu lagi. Ini tentang kita. Tentang keluarga dan orang tua kita. Kamu lupa, bulan depan itu hari bahagia yang kita tunggu selama 5 tahun ini? Jadi aku mohon kamu sedikit bersikap dewasa. Izinkan aku buat menyelesaikan ini semua dan membuat kamu percaya.”, lanjutnya.
“Mahesa, saat api sudah membakar kayu yang kering. Tak mungkin kayu itu akan selamat dan tidak berubah menjadi abu. Jadi aku mohon. Lebih baik kita sudahi semuanya. Biar ga ada lagi hati yang harus hancur.” Seiring kata terakhir yang kuucap, kumatikan juga percakapan ponsel tersebut. Aku pun kembali dengan segera ke tempatku semula di IGD.

***

“Ibu, aku mau pergi sebentar ya. Ingin menjemput Nina.”, pamit Mahesa terburu-buru pada seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk memotong kentang untuk makan malam itu.
“Kamu kenapa lagi sama Nina, Sa? Mbok ya jadi cowo itu jangan suka menyakiti perasaan wanita. Inget, ibumu ini juga wanita. Kita semua sama. Butuh pengertian dan kepercayaan. Sekali kepercayaan seorang wanita sirna pada seorang pria. Sulit baginya untuk percaya denganmu lagi”, ibunya bernasihat.
Mahesa yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu memahami apa yang ibunya katakan. Seusai pamit kembali pada ibunya, ia pun langsung bergegas pergi untuk segera bertemu dengan Nina. Wanita yang selama 5 tahun ini menemaninya mewarnai kotak kayu kehidupan yang ia bangun bersamanya.
“Bu, mas Mahesa mau kemana? Kok buru-buru banget keliatannya?”, tanya Saraswati, adik Mahesa.
“Oh, itu. Mau pergi ke rumah sakit. Ketemu mba Nina”,  jawab ibu.
“Tapi itu helmnya mas ketinggalan ya?”, tanya Saras.
“Hheh? Iya ya? Mungkin lupa. Ya sudah, cepat telepon mas mu sana. Keburu jauh nanti.”
“Baik, Bu.”

Lebih dari 6 kali Saras mencoba menghubungi kakaknya. Namun tak ada jawaban yang berarti. Hanya kotak suara saja yang menyapa.

“Gimana Sar? Ada jawaban dari mas mu?”, tanya ibu.
Engga ada, Bu. Mungkin sudah jauh dan sedang berkendara. Nanti 10 menit lagi Saras coba hubungi”, jawab Saras.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Kamu bantuin ibu sini masak buat makan malam”
“Iya, Bu.”

Meski hujan turun, Mahesa tetap meneruskan perjalanannya mengendarai sepeda motor ke rumah sakit di mana Nina sedang tugas. Menembus tirai air di sepanjang jalan menuju rumah sakit membuatnya basah dan menggigil. Riuh berantakan pikirannya saat ini. Hingga semuanya pun terlupakan. Hanya keinginan cepat sampai di tujuan menjadi pikiran utamanya. Tak peduli dengan apapun. Keinginan untuk bertemu dengan kekasihnya dan menyelesaikan semua ini merupakan prioritasnya.
Namun sayang, pikirannya yang kacau membuatnya melupakan logika. Ia menerobos perlintasan kereta listrik di salah satu palang pintu kereta yang saat itu sedang ada kereta yang ingin melintas. Tubuh tegapnya kini menjadi lemah dan terseret 100 meter dari tempatnya dihantam oleh kereta tersebut. Darah segar bercampur tetesan air hujan mengalir mewarnai wajah, pakaian, dan jaket kulit yang dipakainya hingga sulit mengenalinya lagi. Keramaian dan kemacetan pun tak dapat dielakkan. Puluhan orang berkumpul riuh mencoba menolong di tengah derasnya hujan. Seorang wanita pengendara mobil dengan spontan menawarkan mobilnya untuk membawa Mahesa ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, raga kosong itu pun langsung dilarikan ke IGD.
“Dokter, tolong ini korban kecelakaan kereta di pintu perlintasan kereta sana”, salah satu orang pengantar Mahesa mulai sedikit menjelaskan apa yang terjadi.
“Mohon maaf, pak. Apa ada sanak keluarganya?”, tanya salah seorang dokter jaga.
Engga, dok. Kami semua cuma nganterin aja, tapi mungkin masih bisa ditolong”, kata wanita yang tadi menawarkan mobilnya.
Dengan segera dokter tersebut menghampiri jasad yang sepertinya memang tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan padanya.
“Koass segera ikut saya tangani ini”, titah dokter tadi yang sepertinya merupakan dokter senior di ruangan itu.
“Baik, dok”, jawab salah seorang wanita muda berjas putih berlengan pendek dengan papan nama yang terkait rapi pada kerah jasnya.
Saat dokter muda itu melihat jasad kaku di depannya. Ia pun terlihat histeris. Keadaan kacau saat itu semakin menjadi sendu saat teriakan histeris yang diikuti dengan isak tangis wanita tadi memecah bisingnya deras hujan di luar sana. Dia lah Nina, yang mengenali jasad itu sebagai kekasihnya, Mahesa, yang akan meminangnya. Bukan dari pakaian atau wajah yang sudah terlumuri darah yang mulai membeku itu ia dapat mengenalinya, tapi dari gelang manik kayu yang tersemat di pergelangan tangan kiri jasad tersebut. Gelang yang ia berikan pada Mahesa di hari ulang tahunnya tepat satu bulan yang lalu. Kekasih yang 2 jam lalu masih dapat terdengar suaranya dan meminta untuk bertemu dengannya di telepon.
Melihat Nina yang lemas dan histeris, sang dokter senior memerintahkan koass lain untuk membawanya pergi dari ruangan itu. Dibantu oleh beberapa paramedis, ia pun dibawa ke ruang istirahat dokter jaga. Hingga semuanya buyar dan hujan pun makin deras. Seakan membaca kondisi haru saat itu. Kondisi yang manusiawi bahkan untuk seorang penyelamat nyawa sekalipun. Namun pada akhirnya Mahesa pun bertemu dengan Nina sesuai dengan janjinya, walau dalam kematian dan hujan.

***

Tepat tujuh hari sepeninggal Mahesa, Nina pun pergi mengunjungi rumah Mahesa untuk menghadiri pengajian untuk kekasihnya itu. Keadaan haru yang mulai menipis menguatkan Nina dalam prosesnya memaafkan diri. Di sela-sela mempersiapkan makanan yang akan diberikan pada tamu yang hadir, Saras pun sedikit banyak mengobrol dengannya.
“Oh iya, mba. Ada yang ingin diberikan buat mba. Sebentar ya Saras ambilkan dulu”, ungkap Saras disela-sela obrolan yang telah dibangun sejak tadi. Saras pun bergegas pergi menuju kamar Mahesa dan kembali membawa sebuah paper bag kecil bermotif batik.
“Sebenarnya aku ga sengaja nemuin ini di kamarnya mas waktu bersih-bersih dua hari yang lalu. Tapi kayaknya ini memang haknya mba Nina”, kata Saras sambil mengeluarkan kotak kecil berisi dua buah cincin perak yang memiliki ukiran yang sama dari paper bag tersebut. Salah satu sisi di tiap cincin itu pun juga terukir inisal M&N yang sama.
     “Mas Mahesa juga pernah cerita ke aku kalau sebenarnya mau kasih ini ke mba waktu ulang tahunnya dia. Tapi akhirnya dia urung buat melakukannya. Tunggu sampai nanti pas di hari pernikahannya aja katanya.”, Saras diam sejenak. “Tapi sayang ya mba. Mas Mahesa akhirnya ga bisa ngasih ini secara langsung ke mba”, lanjutnya.
      Air mata yang sedari tadi terbendung berat di kelopak matanya, ternyata tak sanggup untuk bertahan lagi dan akhirnya membuat pola mengalir di atas pipi Nina. Seperti sedang menonton kembali rekaman hidup terdahulu membuatnya tak sanggup untuk segera mengeringkan air matanya. Berjalan menelurusi hari kemarin. Mengumpat dan menyalahkan diri serta melakukan hal lain yang jelas sangat tak membantu memperbaiki semuanya. Hanya sesal dan kelabu yang tertinggal.

                                  ***

Satu jam pun kembali berlalu. Akhirnya tepat tiga jam aku terpaku diam menelusuri masa lalu. Piring yang sejam lalu masih terhias oleh roti bakar coklat yang indah dan menggugah selera sekarang hanyalah sebuah piring kosong dengan remah roti dan selai coklat yang tak bermotif mengotori permukaannya. Cangkir cappucino pun kembali bertambah memadati meja kayu ini. Hujan pun sedikit lebih bersahabat. Hanya menyisakan udara sejuk malam hari dan genangan air. Aku pun bergegas untuk menyudahi hiburan pribadiku ini dan segera kembali ke rumah. Setelah ku membayar semuanya, aku pun menuju keluar cafe. Cafe yang karenanya aku berjanji inilah hari terakhirku untuk mengunjunginya. Mengubur semua kenangan yang ada bersamaan dengan hujan yang berhenti. Menyambut asa baru seiring mentari yang akan bersinar besok.
Saat aku ingin masuk ke mobil, kulihat dua buah sepeda motor saling bertabrakan dan membuat kedua pengendara jatuh dan menghantam aspal jalan di seberang tempat ku parkir. Seorang bapak menjelaskan kecelakaan itu mungkin disebabkan oleh jalanan yang licin sehabis hujan sepanjang sore tadi. Kembali aku bergegas menuju tempat kerumunan tersebut dan memberikan sedikit pertolongan yang merupakan salah satu kewajibanku sebagai seorang dokter. Beruntung kedua pengendara tersebut masih dapat diselamatkan. Walaupun salah satunya harus menempuh tindakan operasi orthopedi karena tulang pahanya yang sedikit retak. Setelah semuanya usai dan korban sudah ditangani di rumah sakit terdekat, aku baru benar-benar pergi menuju tempatku beristirahat. Menutup hari dengan diskusi terhadap diri sendiri bahwa semua sudah berjalan sesuai dengan semestinya. Dan damai dengan diri sendiri juga merupakan hal yang tepat dalam memahami masa lalu. Menapaki jalan baru dan masa depan yang harus dibangun kembali dengan yang lain. Selamat jalan Mahesa. Maafkan aku. Semoga kau tenang di sana. Semoga kau mau menunggu hingga kita disatukan kembali karena ini bukanlah perpisahan yang sebenarnya, bukan?

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

No comments: