Minggu,
18 Januari 2015
Di
perjalanan setelah makan malam di malam minggu pertama gue di Bangkok, salah satu
staf yang menjemput gue menanyakan apakah kita bertiga punya rencana mau pergi
ke mana di hari minggu. Karena jadwal magang baru dimulai di hari Senin,
walhasil belum apa-apa kita udah punya waktu luang buat menjelajah Bangkok.
Berbekal pengetahuan yang gue dapet dari film-film Thailand tentang
tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi di kota Bangkok dekat dengan rumah
sakit tempat gue magang, akhirnya gue menceritakan tentang sebuah pasar
terkenal di Bangkok yang mau banget gue kunjungi di mana pasar itu menjual
berbagai macam barang yang bisa dijadiin oleh-oleh khas Thailand. Betapa
beruntungnya gue, ternyata RSH Pendidikan Universitas Kasetsart, tempat gue
magang berada di daerah dekat dengan pasar itu. Pasarnya bernama “Chatuchak Weekend Market” karena cuma
buka di akhir pekan dan gak terlalu jauh dari aparteman tempat tinggal kita.
Sebenarnya Salwa mencoba menjelaskan arah dan transportasi buat pergi ke market itu tadi malam, tapi berhubung
itu udah malam, di taksi pula, dan bagian translater
otak gue batere nya udah abis, makanya gue gak bisa fokus dengan apa yang Salwa
katakan. Begitu juga dengan Intan dan Kenda. Sayangnya dia gak bisa nganterin
kita buat pergi ke sana di hari itu.
Minggu pagi pun tiba, gue mulai melihat
sedikit sinar masuk ke kamar aparteman gue di lantai dua. Karena penasaran
suasana pagi apa yang akan gue lihat di Bangkok, akhirnya gue keluar kamar
menuju balkon tepat di samping tempat tidur gue dan Kenda. Kenda yang saat itu
masih asik terlena dengan rayuan kasur pun sedikit terusik dengan cara
menikmati pagi gue yang ala-ala. Udaranya lumayan sejuk, pada saat gue di sana
kebetulan bulan Januari di mana di bulan itu Thailand musimnya lagi “winter”,
tapi tetap lebih sejuk tempat kuliah gue di Indonesia. Gue mulai melihat aktivitas
penduduk sekitar aparteman gue. Terlihat adanya beberapa ibu-ibu pedagang
makanan yang menjajakan makanannya di depan aparteman. Mungkin ini semacam
pedagang nasi uduk atau lontong sayur buat sarapan kalau di Indonesia kali ya,
tapi semacam ditambah daging asap gitu. Gue memperhatikan ibu-ibu penjual salah
satu sarapan khas Thailand itu dari balkon kamar gue di lantai dua dan ibu-ibu
itu tersenyum pada gue. Ecieeeee......disenyumin sama ibu-ibu Thailand cieeee
*abaikan*. Belum genap sehari gue berada di Bangkok, gue melihat keramahan
penduduk lokal di pagi hari. Keren...
Hampir
3 jam gue dan Kenda mencoba buat cari transportasi ke Chatuchak Market. Kita berpikir, mumpung masih gak ada kerjaan di
hari libur dan udah jauh-jauh ke Bangkok, masa iya cuma dihabisin di dalam
kamar tanpa ngelakuin apa-apa. Berbekal wifi aparteman, mulai dari google maps, catatan di blog orang,
sampai website dengan tulisan khas Thailand yang sebenarnya bertujuan buat
memberitahu tempat-tempat wisata di sekitar Bangkok, justru gak ada yang bisa
ngebantu sedikitpun. Sebenarnya ada rute bis dari google maps yang menuju ke Chatuchak
Market, tapi kita berpikir: ini bukan di Jakarta yang kalau kita tersesat
bisa nanya ke orang pakai Bahasa Indonesia. Makanya kita ngurungin niat buat pakai
kendaraan umum. Pada akhirnya kita putuskan menggunakan taksi buat ke tempat
tujuan. Terus gue berpikir, buat apa 3 jam ngobrak-abrik gak jelas isi blog
orang kalau pada akhirnya kita pakai taksi? Oke, tanyakan saja pada ekor anjing
yang bergoyang.
Bermodal
nekat dan bahasa Inggris, akhirnya kita nyetop taksi di depan gang aparteman.
Jangan bayangin gangnya mirip gang di Jakarta yang sempit, gang ini langsung
terhubung ke jalan utama kota Bangkok depan RSH. Kami menyetop satu taksi.
Beruntung supir taksinya bisa sedikit bahasa Inggris walau bahasa tarzan
lagi-lagi menjadi pilihan utama kita bertiga buat berkomunikasi dengan supir
tersebut. Sebenarnya gue tahu beberapa kalimat dan kata dalam bahasa mereka
karena sempat belajar dari film dan internet, tapi...ternyata sangat sedikit
ngebantu.
Sepanjang jalan sangat sedikit gue
melihat sampah berserakan di tepi jalan. Gue melihat jalanan kota Bangkok
bersih dan tertata rapi. Walau memang ada kemacetan, tapi gak seperti di
Jakarta. Gak ada suara klakson nyaring yang memekakkan telinga atau asap bis
yang kelabu sesuram hidup gue. Mereka semua tertib dan sadar kalau itu sedang
macet. Sedikit menyimpulkan bahwa masyarakat Thailand sangat sabar dan sadar
terhadap keadaan sekitar. Udah tahu lagi macet, kenapa mesti bunyiin klakson.
Jadi gak ada kondisi gak tertib layaknya di Jakarta.
Kurang lebih 30 menit kita akhirnya
sampai di salah satu gerbang pasarnya. Hal pertama yang terlintas dan kata yang
pertama gue katakan adalah “WOW”. Rame. Gue gak nyangka bisa menginjakkan kaki
di tempat yang selama ini cuma bisa bikin gue ngiler bacanya di sebuah catatan
blog traveller di internet, tapi pada
hari ini gue merasakan sendiri gimana suasana pasar yang terkenal se-Asia
Tenggara sebagai destinasi wisata yang menjual oleh-oleh khas Thailand itu
karena harganya gila-gilaan murah kalau kita bisa nawar segila-gilanya juga.
Kita bertiga mengawali berkunjung
ke sebuah toko kaos yang gue pribadi sih melihat harganya lumayan mahal dan
sulit menawar dengan pedagangnya. Kami bilang, kami akan coba melihat-lihat
dulu ke dalam. Padahal cuma beralasan buat ninggalin toko kaos yang lumayan
mahal itu. Hampir 7 menit kita keliling dan masuk lebih dalam lagi, kami nemuin
sebuah toko souvenir yang memajang
harga lumayan murah dan pedagangnya bisa sedikit bahasa Melayu. Berbekal
kemampuan yang diturunkan secara genetis oleh ibu-ibu Indonesia, terjadilah
perang menawar harga antara gue, Kenda, dan Intan dengan bapak dan ibu pemilik
toko itu. Senjata yang kita gunain adalah kalkulator. Dengan senyuman maut dari
kita bertiga agar dapat diberi harga sesuai dengan keinginan akhirnya kita
lontarkan kepada mereka. Cukup alot memang, namun akhirnya kami bisa memborong souvenir khas dengan harga sangat miring
semiring otak gue. Gak percuma kita dilahirkan dengan kemampuan menawar harga
yang diturunkan oleh ibu-ibu kita di Indonesia. Selain bakat nyalain lampu sen
kiri tapi beloknya malah ke kanan, ibu-ibu di Indonesia juga sangat jago yang
namanya perang harga.
Hampir 1 jam kita muterin pasar dan
lambung pun mengalunkan musik peristaltiknya yang ngebuat kita akhirnya
menyudahi perjalanan sejenak buat mencari tempat makan halal di area pasar itu.
Cukup sulit. Memang banyak yang menjual makanan, tapi kita gak nemuin tempat
makan yang menyertakan logo halal di spanduknya. Ada satu tempat makan yang
menjual nasi goreng seafood yang
sebenarnya sih gue juga gak yakin walaupun itu seafood tapi apa memang benar 100% halal dan bisa kita makan.
Dengan modal niat, akhirnya kita pesan 3 porsi. Gak beberapa lama pesenan kita
datang. Gue melihat ekspresi Intan yang sedikit ragu. Ragu dan gak yakin kalau
itu aman buat kita makan. Ngelihat tingkah Intan yang begitu, sontak gue juga
mulai mikirin lagi. Tapi...mau gimana lagi. Udah dipesen. Ya....pada akhirnya
kita makan juga. Setelah makan, kita mulai jalan lagi mencari beberapa barang
yang belum bisa kita dapetin. Di tengah-tengah sebuah toko di salah satu sektor
market itu, ternyata kita menemukan
sebuah tempat makan halal yang dengan jelasnya memasang logo halal. Bagai
menemukan oasis di tengah padang pasir, akhirnya kita membeli makanan itu buat
dibungkus jadi makan malam.
Tepat
jam setengah 2 siang kami akhirnya mutusin balik lagi ke aparteman buat
istirahat. Sebuah pengalaman baru, pergi ke pasar tradisional di sebuah negara
dan melihat berbagai macam orang dari penjuru dunia berkumpul di sebuah tempat
menakjubkan. Gak sabar rasanya buat melihat hal-hal menakjubkan lainnya besok
di tempat kita magang.
No comments:
Post a Comment